Suaranya begitu merdu. Membuat siapa saja yang mendengarkannya terdiam. Khidmat mendengarkan. Bagi yang menghayatinya secara mendalam, akan menangis.

Seperti Afkar, entah mengapa hatinya tersentuh mendengarkan lantunan ayat yang sudah Ranz hafal sebelumnya. Pertama kalinya ia mendengarkan Ranz membaca ayat suci Al-Qur'an. Seringnya, ia mendengar suara indah Ranz mengisi gendang telinganya.

Dan tak Afkar sangka. Ranz menjadi bagian keluarganya mulai saat ini.

Usai Ranz membayar maharnya . Ia kembali mendekat kepada Afkar. Memberikan paper bag berukuran kecil. Afkar membukanya. "Gue titip ini kasih ke Khanza. Suruh pakai gitu. Tapi gue harap lo tutup mulut tentang kejadian hari ini. Jangan bilang ke siapa-siapa terutama Khanza. Lo beralibi aja lah tentang cincin ini. Mau gak mau, gimana pun caranya dia harus pakai. Wajib. Biar gue aja yang acting nanti. Lo bakal gue butuhin setelah ini. Surprise buat Khanza juga." Ucap Ranz setengah berbisik. Afkar tersenyum menanggapi. Sedetik kemudian, ia menganggukkan kepalanya.

"Dan gue titip ke lo juga, jangan sampai lo lihat Khanza menangis. Dan gue juga berharap sama lo semoga lo termasuk orang yang bisa membahagiakan Khanza. Sampai kapan pun itu."

"Aamiin. Insyaallah. Selama gue masih diberi umur, gue pastikan dia selalu bahagia sama gue."

"I believe to you Ranz. Tapi, sekarang gue mau balik dulu,"

Mereka beranjak dari duduknya masing-masing. " Good Luck, Thanks Afkar. Semoga allah membalas kebaikanmu Aamiin."

"Yes. Aamiin. Gue cabut. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam."

𝓇𝒾𝓉𝓂𝑒

Khanza melepaskan penat sementara sembari menunggu Myscha membeli es kelapa untuknya. Ia melirik arloji. Sudah waktunya ia pulang. Karena, hari ini tak ada schedule lain selain di rumah.

Tak lama, Myscha datang membawa dua plastik berisikan es kelapa. Duduk disamping Khanza. Ia menyeruput begitu cepat minumannya. Untuk melepaskan rasa dehidrasi yang begitu memenuhi tenggorokannya.

Myscha bersendawa. Sebelum sesaat ia menambah dua es kelapa. "Alhamdulillah," ucapnya sembari mengusap perut.

"By the way, habis ini lo mau kemana?" tanya Khanza masih menyeruput minumannya.

"Palingan ngurusin bocah-bocah di rumah. Makanya, kadang gue bosan. Serasa jadi pembantu aja. Mentang-mentang gue belum nikah."

Khanza dan Myscha. Anak bungsu dari keluarga mereka. Bedanya, Khanza hanya memiliki 2 kakak saja. Dibandingkan Myscha. Bungsu dari 7 bersaudara. Hanya Myscha saja yang belum menikah. Kakak terakhirnya, baru saja nikah 5 bulan yang lalu.

"Hahah, sekalian belajar jadi housewife sekalian. Siapa tahu jodoh lo udah dekat. Amal Cha."

Myscha mendelik. "Masih mending di gaji perhari buat ngurus bocah. Lhah ini? Mana Abang gue yang ke 5 bentar lagi persalinan. Nanti gue lagi yang jadi baby sisternya. Mending pindah rumahlah. Atau," Myscha melirik ke arah Khanza dengan pandangan yag sangat aneh.

"Gue tinggal di rumah lo aja da ya Cha. Boleh yaa," Dengan puppy-eyes khas Myscha. Khanza menjauhkan sedikit tubuhnya. "Izin dulu noh ke Afkar."

"Yaahhh," Myscha mengerucutkan bibir. "Kenapa coba ya, gak gue aja yang dilamar abang lo itu." gumam Myscha. Terdengar jelas oleh Khanza. Hanya tersenyum menanggapi.

Setelah lama keduanya terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Samar-samar terdengar dari kejauhan. Mungkin dari arah masjid. Lantunan Surah ar-Rahman. Favorite keduanya. Mendengarkannya dengan baik.

RITME; Married with SelebritiWhere stories live. Discover now