7. Bukan Salah Hati

Beginne am Anfang
                                    

Aku duduk tak jauh dari pintu, setelah menunggu sekitar hampir satu jam. Seorang dosen keluar dari kelas tersebut, aku lantas berdiri karena ketika dosen keluar berarti kelas sudah selesai. Tidak lama kemudian, berhamburan para mahasiswa keluar dari kelas. Mataku menjelajah setiap orang yang keluar dari pintu, sampai akhirnya aku menemukan sosok berambut cokelat berjalan keluar sembari mengobrol dengan teman satu kelasnya.

"Salsa?" Aku berjalan mendekati gadis itu. "Sal?" Aku sedikit berlari karena Salsa tidak mendengar panggilanku, dia terus berjalan ke arah berlawanan denganku.

"Sal, dipanggil tuh!" Seseorang memberitau Salsa, tak lama gadis itu menoleh ke arahku.

Aku tersenyum dan melambai ke arahnya sambil menenteng kotak nasi goreng. Dia hanya membalas senyumku dengan tipis, dengan menarik satu sudut bibir saja. Biasanya kalau aku mengunjunginya, Salsa akan berteriak heboh, berlari sambil meregangkan tangannya. Namun, hari ini yang kulihat bukan Salsa yang aku kenal.

Aku mengulurkan kotak nasi itu setelah berdiri tak jauh dari posisi gadis itu.

"Apa ini?"

"Nasi goreng kesukaanmu," jawabku, "nih!"

"Makasih, Bil, tetapi nggak usah repot-repot. Gue lagi diet buat seleksi drama ke Thailand, lebih baik lo kasih ke yang lain, ya." Salsa menolak.

"Oh begitu, ya." Aku menarik kotak nasi itu dari hadapannya.

"Sori," ucap Salsa sambil menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, "gue buru-buru nih, gue duluan ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, "Jangan terlalu memaksa, jangan lupa makan ya! Semangat!" teriakku saat Salsa sudah setengah berlari meninggalkanku, dia hanya membalas dengan lambaian tangan tanpa menoleh.

Salsa benar-benar menghindariku. Kita memang pernah bertengkar, tetapi tidak pernah sampai saling menghindar. Untuk kali pertama, aku sangat merasa kehilangan. Mungkin aku belum menyadari tentang mengapa dia menghindariku? Aku takut jika aku menghindarinya juga, hubungan kami semakin renggang dan pada akhirnya tali persahabatan kami benar-benar putus. Aku takut.

Aku merogoh ponsel di saku, kemudian mengetik sebuah pesan untuk Salsa, "Sal, sepulang kuliah bisa kita bicara? Aku ke aulamu, ya."

Satu-satunya jalan untuk memperbaiki bukanlah menghindar, tetapi menghadapi, membicarakan baik-baik dan mencari solusi bersama. Masalah tidak akan pernah bisa terselesaikan jika masing-masing dari kita mengokohkan ego.

Pukul empat sore aku berjalan kearah aula Fakultas Sendratari dengan harapan semoga hari ini masalah di antara kami terselesaikan sehingga tidak lagi perasaan-perasaan yang tak mengenakan. Namun, langkahku terhenti di belokan menuju pintu aula, aku menarik kaki ke belakang dinding dan bersembunyi di situ.

Aku melihat Rendy dan Salsa sedang mengobrol di depan pintu aula.

"Sal, lo nggak bisa maksa perasaan orang lain."

"Itu sama artinya dengan lo nggak bisa ngelarang perasaan gue. Kita sama-sama punya hak, Ren. Gue, kan, udah bilang, gue nggak maksa lo nerima gue, kok. Gue cuma pengin lo tahu, kalo ada perasaan istimewa di hati gue buat lo," kata Salsa.

"Hm, sama. Lo nggak bisa maksa tentang perasaan gue ke Syabil."

"Tapi, Syabil udah punya suami, Ren."

"Hak gue cinta sama dia, meskipun kita nggak jodoh."

Salsa terlihat frustasi, beberapa kali dia memejam dan membuka matanya sembari menghela napas panjang. Mungkin, ini waktunya aku muncul di antara mereka. Mungkin ini cara Allah menuntun aku, Rendy dan Salsa untuk bertemu di satu tempat.

Bismillah, dengan kaki bergetar aku berjalan mendekati mereka. Salsa yang pertama kali menyadari keberadaanku, dia tampak terkejut, "Syabil?"

Begitu Salsa menyebut namaku, Rendy menoleh, anehnya dia sama sekali tidak terkejut. Wajahnya tampak tenang, masih menenggelamkan satu tangannya di saku jeansnya.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanyaku sembari terus mendekat.

"Nggak ada, nggak ada, kok, Bil." Salsa mencoba menutupi.

Aku menoleh ke arah Rendy, dia menatapku lurus tanpa berkedip. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah Salsa yang terlihat gelisah.

"Bil?"

"Hm?" aku kembali menoleh kearah Rendy.

"Aku mencintaimu," ucap Rendy tanpa aba-aba yang langsung membuatku terperangah kaget, "dari dulu, sampai sekarang. Dan, bahkan mungkin sampai nanti."

"Lo gila, ya!" Salsa mendorong bahu kiri Rendy.

"Nggak, gue nggak gila. Gue jujur. Seperti lo yang jujur kalo lo cinta sama gue."

"Ren!" bentak Salsa.

Untuk beberapa detik aku masih mencerna semua ini, dalam detik demi detik itu aku seperti dalam titik tengah jembatan yang di setiap ujung ada Rendy dan Salsa. Kala aku maju, sisi Rendy menurun. Kala aku mundur, sisi Salsa yang menurun. Aku bingung, aku ingin mereka selamat. Tetapi, terasa mustahil. Dan hanya ada satu-satunya jalan, yakni... aku yang loncat untuk menyelamatkan mereka.

PLAK! Tangan kananku mendarat di pipi kiri Rendy.

"Ingat-ingat kataku." Aku menatap intens ke arah Rendy, "Kamu bukan lagi sahabatku!" Aku menarik langkah, pergi dari meninggalkan mereka.

"Bil!" Salsa memanggilku, aku mendengar langkahnya mendekat. Aku mempercepat langkah dan menghilang di belokkan aula, "Bil! Tunggu!" Salsa menarik bahuku, di saat itu tangisanku pecah. Aku menekuk lutut kemudian menjatuhkan wajah di antara lutut.

"Bil? Hei?" Salsa ikut berlutut dan mengusap punggungku, "Gue... gue bingung mau ngomong apa. Cup, cup, ... please, jangan nangis."

Aku mengangkat wajah sembari tersengal-sengal, "Maafin aku, Sal."

"Ngapain lo minta maaf? Lo salah apa? Lo nggak salah apa-apa."

"Maafin aku..."

"Udah, udah, lo ngapain minta maaf sih? Lo nggak salah apa-apa, Bil."

"Aku..hiks...aku tahu kamu beberapa hari ini menghindariku karena masalah ini. Maafin aku karena nggak bisa membantu apa-apa, hiks..." Meski tersendat tangisan, aku mencoba mengutarakan apa yang selama ini aku rasakan.

"Ngindarin lo? Siapa? Gue? Gue sama sekali nggak ngindarin lo, Bil. Lo mikir apa sih?"

"Hiks... karena Rendy..."

Salsa terlihat menghela napas, "Gue nggak marah sama lo karena Rendy sukanya sama lo. Gue fine, Bil. Gue malah nggak ada pikiran buat marah sama lo. Lo itu sahabat gue, masa gara-gara cowok gue jadi musuhin lo? Gue nggak gila."

"Jadi... kamu nggak marah sama aku?"

"Nggak, Bodoh," jawab Salsa sambil terkekeh, "Iya, awalnya sih emang gue patah hati. Tapi, gue keselnya sama Rendy, bukan sama lo. Tadi, kita cuma mau ngelurusin masalah, gue nggak apa-apa, kok, ditolak. Karena sebelumnya gue udah siap sebelum gue ngutarain perasaan gue ke dia. Siap ditolak, siap diterima," lanjutnya dengan senyuman.

Tangisanku mereda, aku menatap mata Salsa yang memancarkan ketulusan dari kalimatnya barusan. Selama ini aku hanya tenggelam dalam persepsiku sendiri, padahal Salsa baik-baik saja.

"Maaf, ya, Sal?"

"Maaf apaan sih? Iya, iya, gue maafin, udah? Puas? Yuk, berdiri ah!" Salsa menarik tanganku untuk berdiri, kemudian Salsa memelukku, "Bil, jangan pernah berpikiran kalo gue bakal ninggalin lo. Lo itu sahabat yang paling gue sayang. Hm?"

Aku mengangguk lalu membalas pelukannya erat. Salsa tidak pernah berubah, dia tetap menjadi Salsa yang aku kenal. Hanya akunya saja yang tidak bisa mengontrol diri berpikiran macam-macam tentang hubungan kami, padahal hubungan kami baik-baik saja. Aku merasa bersalah kepadanya.

*** 

[DSS 4] Diary SyabilWo Geschichten leben. Entdecke jetzt