Sembilanbelas

16.6K 1.4K 36
                                    

Di malam hari seperti ini, Kinanti tidak pernah mengira akan ditinggalkan berdua bersama Gilang. Dan lebih tidak terpikirkan, bahwa Gilang yang sedang sakit terlihat lebih manusiawi dan cenderung kekanakan. Seperti merengek meminta ibunya tetap tinggal di rumah tanpa harus pergi menyusul ayah dan kedua kakaknya ke rumah tante Rena.

Nami tetap tidak perduli dengan rengekan anak bungsunya yang sudah menyandang gelar sebagai seorang suami. Nami pikir, karena sudah ada Kinanti bersama Gilang, untuk apa masih memintanya tetap tinggal. Lebih baik ia membiarkan suami istri muda itu di tinggal saja berdua untuk berbulan madu.

"Mama gak masak, ya?" Gilang membuka satu persatu pintu lemari gantung tempat biasa Nami menyimpan lauk pauk. Kinanti yang sejak tadi selalu mengambil tempat terjauh dari Gilang, memilih tidak menyahut.

Tak lama setelah Saras pulang, Nami juga memilih pergi dan mengurungkan niat untuk memasak. Sejak itu Kinanti lebih memilih berdiam diri di dapur. Setelah selesai mencuci piring dan membersihkan meja yang tidak kotor, ia tetap berdiam diri di sana. Duduk di kursi meja makan yang kosong. Sementara Gilang berada di ruang keluarga menonton Tv.

Kinanti mendongak menatap Gilang yang sedang sibuk membuka pintu lemari itu satu persatu.

"Hei! Aku sedang bicara denganmu!" Gilang berbalik dan membentak, membuat Kinanti seketika tersentak dan terkejut.

Kinanti merasakan tendangan pelan yang di lakukan bayinya. Membuatnya meringis dan perlahan mengelus perutnya tepat di mana bagian yang terasa sedikit nyeri dan menonjol. Mungkin bayi di dalam rahimnya juga terkejut mendengar bentakan Gilang.

Melihat ringisan Kinanti, Gilang mendengkus dan merubah nada suaranya menjadi lebih datar. "Mama gak masak?"

Gadis itu hanya menggeleng. Perlahan bangkit berdiri dan memilih pergi meninggalkan Gilang seorang diri di dapur.

"Masakkan nasi goreng untukku." Kinanti menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Gilang dengan dahi berkerut.

Pria itu juga menatapnya dengan hal yang serupa. Mengingat Kinanti pernah hampir membakar rumah ini karena hanya ingin memasak nasi goreng. Yang mamanya bilang sedang mengidam, membuat Gilang mendesah pasrah.

"Masakkan telur ceplok aja." Lalu melangkah dengan perlahan menuju kursi tempat di mana Kinanti tadi duduk.

Beralih ke kulkas dua pintu, Kinanti mengambil dua butir telur. Memanaskan teflon di atas kompor dengan mentega beku yang terlihat sudah mencair. Lalu satu persatu ia menggoreng telur ceplok untuk Gilang.

Nami bilang, Gilang merupakan anak bungsu yang paling tidak merepotkan jika soal makanan. Pria itu bisa menerima makanan apa saja yang di masak oleh Nami. Bahkan hanya dengan telur dadar dan nasi yang di beri kecap manis, pria itu masih bisa makan dengan lahap. Nafsu makan Gilang sama seperti ayahnya. Berbeda dengan kedua kakaknya, yang memiliki selera makan yang berbeda-beda bahkan memilih-milih lauk untuk setiap harinya.

Setelah meletakkan piring yang berisi nasi hangat dan dua butir telur ceplok ke atas meja. Lengkap dengan botol kecap manis dan satu gelas air hangat. Kinanti kembali ke wastafel. Membersihkan peralatan yang sudah ia gunakan.

Selesai mengelap tangannya yang basah dengan kain bersih. Kinanti berbalik, melihat Gilang yang kesulitan makan menggunakan sendok dengan tangan kirinya. Sementara pergelangan tangan kanannya masih di perban.

Beberapa kali mencoba, Gilang tetap tidak bisa menggukanan sendok dengan benar. Sejak kecil ia tidak kidal dan tak terbiasa menggunakan tangan kiri untuk makan. Maka dengan pasrah ia mendesah dan membanting sendoknya kembali ke piring. Ia mendongak saat merasa ada yang memperhatikannya.

KINANTIWhere stories live. Discover now