Satu

36.3K 2.1K 4
                                    

Gadis itu menoleh ke jendela yang masih terbuka. Pemandangan di luar menampilkan langit gelap dengan hujan yang masih betah mengguyur bumi begitu deras. Bahkan guntur dan petir masih terlihat saling kejar mengejar tak kenal lelah.

Ia kembali menghela napas entah untuk yang ke berapa kali sejak hujan turun. Gadis itu tidak pernah merasa segelisah ini di saat hujan datang, biasanya ia akan bahagia dan dengan begitu ia akan bisa tidur berpelukan bersama nenek dalam satu kamar yang sama.

Namun, bahkan sampai detik ini nenek belum juga menampakkan batang hidungnya. Membuat gadis itu gelisah tak menentu.

Ia kembali merebahkan kepalanya di atas ke dua tangannya yang masih terlipat di atas meja. Sudah lebih dari satu jam ia duduk di lantai yang dingin di ruang tamu sembari menunggu nenek pulang. Tapi sampai detik ini nenek belum juga datang.

Suara dering telepon seluler yang berasal dari kamarnya membuat gadis itu tersentak dan segera berdiri. Begitu melihat nama si penelepon tertera di layar ponselnya, ia segera menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ketelinga kanannya.

"Halo, Nenek di mana? Kenapa lama sekali pulangnya?" Tembaknya langsung dengan tidak sabar.

"Sepertinya malam ini nenek tidak pulang, hujannya deras sekali. Ibu Nami juga memaksa nenek agar tetap tinggal. Apakah kau akan baik-baik saja sendirian di rumah?"

Gadis itu menangkap rasa cemas melalui suara neneknya dari seberang telepon. Sejujurnya, entah kenapa malam ini ia ingin neneknya segera pulang. Menemaninya di rumah di saat hujan deras dan petir sedang menyambar-nyambar seperti saat ini.

Namun, ada rasa tidak tega untuk memaksa. Terlebih ia tidak mau semakin menyusahkan nenek. Lagi pula, jarak rumah tempat nenek bekerja yang terletak di pusat kota dari rumah mereka yang berada di pinggiran kota bisa memakan waktu selama satu setengah jam jika di tempuh dengan angkutan umum. Belum lagi nenek harus berjalan kaki selama lima belas menit dari jalan raya menuju ke rumah mereka yang terletak di gang yang memiliki jalanan tanah berlumpur dan licin juga minim tetangga, bahkan jarak satu rumah ke rumah lainnya saling berjauhan. Membuatnya merasa takut jika akan terjadi sesuatu pada nenek. Terlebih tidak adanya lampu jalan yang menerangi jalanan.

"Kinanti?"

Kinanti tersentak. "Oh, iya. Tidak apa-apa, Nek."

Kinanti jelas berbohong. Jiwa kecilnya menginginkan perlindungan sosok orang tua di rumah mereka yang sederhana. Namun pikiran dewasanya memilih tidak ingin merepotkan nenek jika harus pulang dalam keadaan cuaca buruk seperti ini.

"Ya, sudah. Besok sore nenek akan langsung pulang, ya?"

Kinanti tersenyum kecil. Meyakinkan hatinya bahwa tidak akan terjadi sesuatu apapun padanya dan rumah ini di saat ia tengah sendirian seperti sekarang. Bukankah ia sudah sering sendirian di rumah jika nenek tidak bisa pulang dan harus menginap di sana? Seharusnya ia sudah terbiasa kan?

Kinanti mengangguk mantap, "Iya, Nek."

"Jangan lupa sebelum tidur kunci pintu dan semua jendela, ya?"

"Iya, Nek."

Setelah beberapa saat mengobrol, sambungan di putus oleh nenek yang mengatakan ingin segera beristirahat setelah meminum obat untuk meredakan sakit kepalanya.

Kinanti kembali menghela napas sekali lagi sebelum meletakkan ponsel polifonik yang hanya bisa di gunakan untuk bertelepon dan berkirim pesan ke atas meja belajar, lalu beranjak meninggalkan kamar menuju ruang tamu.

Sebelum nengunci semua jendela, ia melongokkan kepalanya untuk melihat keadaan di luar. Lampu-lampu teras di rumah beberapa tetangganya sudah terlihat dimatikan. Menandakan kalau penghuni rumah-rumah itu lebih memilih tidur. Lalu ia menutup jendela dan menguncinya memastikan pintu juga sudah terkunci dengan aman.

KINANTIWhere stories live. Discover now