7. Pertolongan Pertama

845 94 6
                                    

Pagi hari itu kota Moskow di selimuti oleh kabut musim dingin. Masih terlihat mata yang terpejam tenang. Kaki jenjangnya masih terbalut selimut yang begitu tebal. Wajah glowingnya mulai bersinar kala tersorot cahaya mentari berasal dari jendela yang lupa ditutup gordennya. Cuaca dingin semakin membuatnya malas untuk terbangun, walaupun alarm sudah begitu nyaring terdengar.

"Kuliah umum, kuliah umum, kuliah umum." Rui bergumam dengan mata yang masih terpejam.

Hari itu ia memiliki jadwal untuk kuliah umum. Suara drum terdengar, Rui pun terbangun secara tiba-tiba dari mimpinya yang tengah menonton sebuah konser musik. Tak lupa, Rui selalu memakai topi bulunya, salah satu topi kesayangannya. Rui keluar dari ruang kamar asramanya perlahan. Sebenarnya, ia masih ingin bermalasan dengan kasurnya. Namun, jadwal kuliah dan tanggung jawabnya menjalani hukuman, harus tetap ia lakukan hingga Rui rasa nanti Papanya akan merasa bosan sendiri untuk mengatur hidupnya. Seorang laki-laki berwajah visual lewat di depannya, membuat Rui tersadar dari mimpinya walaupun ia sudah rapih terlihat untuk menjalani perkuliahan.

Deon saat itu hanya lewat tanpa menyapa. Atau mungkin, sengaja tak menyadari bahwa ada Rui di sana. Ruina menyeringai sinis menatap Deon yang menjauh.

"Mentang-mentang di negeri orang, sombong pisan èta jèlèma. Seenaknya lewat, kemarin aja dia bersikap manis depan kak Ezlan. Dasar pencitraan." Rui mendumal seraya melangkah keluar asrama.

Fokus mengenakan arlojinya tanpa melihat jalan, Rui menabrak seseorang.

"нет глаз?" (Gak punya mata?) Deon bergumam dengan bahasa Rusia membuat Rui menatapnya aneh.

"Ngomong apaan lo? Asal lo dari Bandung kan? Sama-sama makan singkong gak usah deh namanya pake bahasa asing."

Deon hanya terdiam dan melanjutkan langkahnya menuju Bus. Tak mereka sangka, hari itu banyak sekali mahasiswa yang sudah lebih dulu menunggu bus. Bus memang selalu sempit jika ada mahasiswa yang terlambat walaupun hanya satu menit.

"Sial! Penuh!" Gumaman Deon terdengar oleh Rui. Rui melotot dan segera berlari memasuki pintu bus yang mulai padat. Ia bahkan lari meninggalkan di belakang. Deon bingung melihatnya, dan ikut berlari untuk segera memasuki bus. Telat sedikit saja, pintu bus pasti akan tertutup.

"Duh, kemarin gak sesempit ini. Excuse me! Excuse me!" Rui mencari celah untuknya bisa berdiri dan mengambil napas.

Rui terlihat terhimpit oleh dua orang mahasiswa yang juga ikut berdiri. Deon memperhatikannya sedari tadi dari bagian belakang bus. Tangannya tengah menggantung pada handle grip bus yang begitu kokoh menahan tubuhnya.

Rui terlihat risih, itu adalah hari pertamanya di kelilingi orang asing, sungguh membuatnya jengkel. Naik angkot saja Rui tak pernah. Dan kini harus menaiki bus yang penuh akan orang.

"Sialan, gue kejebak. Gimana ini?" batin Rui cemas sendiri.

Sebuah tangan terlihat menjulur ke arahnya. Tangan dengan gelang merah itu tiba-tiba meraih kuncung mantel Ruina. Rui terseret tangan kekar Deon untuk mendekat pada pria tukang roti itu. Ia berusaha menyelamatkan Rui dari himpitan kedua pria di sana. Gadis di sapa Rui itu terkejut karena tarikan Deon membuatnya sampai bermuara di depan dada bidangnya pria itu. Rui bergeming dengan jantung yang berdekup karena terkejut Deon menariknya. Mata Ruina memencar bingung karena tak nyaman berdiri tepat di hadapan Deon begitu dekat. Sejenak, Rui sangat canggung karena hal itu. Sementara Deon, ia memencarkan matanya dengan canggung. Ia melirik Rui sesekali. Bus masih berjalan lama membuat Rui ingin segera keluar dari besi berjalan itu.

DI BALIK JENDELA MOSCOW Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum