04

34 6 9
                                    

Hari demi hari berlalu, tidak ada yang spesial dari hari-hari sebelumnya. Semuanya masih sama, Adnan yang semakin disibukkan dengan tryout-tryout dan les, kelas sepuluh dan sebelas yang juga diliburkan demi kepentingan kelas dua belas.

Maka semakin sedikit pula kesempatan untuk bertemu Adnan. Rindu, gadis itu begitu rindu. Meski memang tidak memiliki, tapi rasa itu masih ada sejak dia resmi menjadi murid SMA beberapa bulan lalu. Perasaan suka yang tidak hanya sekedar kagum.

Kemudian akhirnya, ujian tiba. Hari ini hari pertama, Dinda mendapat ruang yang sama dengan Adnan. Hanya saja mereka beda sesi. Adnan yang sesi satu, pagi, sedangkan Dinda sesi tiga, sore.

Awalnya Dinda tidak berpikir macam-macam. Namun entah dapat hidayah darimana, muncul ide dikepalanya. Dinda iseng mengirim surat untuk Adnan.

Setelah selesai mengisi semua soal ujian, namun waktu ujian belum habis, Dinda menulis sesuatu diatas kertas kosong hasil robekan bukunya sendiri. Gadis itu mulai menulis dengan tanpa pikir panjang. Meskipun tak berbalas, setidaknya dia berusaha.

Halo kak Adnan, ini aku adik kelas yang satu ruangan dengan kakak. Aku cuma pengen bilang, aku kagum sama kakak. Semoga kakak baca, dan kalo bisa tolong jawab surat ini ya. Taruh aja dikolong meja kak Anada, aku duduk disitu.

Dinda melipat kertas menjadi kecil, lalu menyimpannya dan berniat menaruhnya dikolong meja ujian Adnan yang berada didepan, nanti setelah selesai ujian.

Hal bodoh memang, mana tak berbalas. Tapi ya sudahlah. Setelah ujian selesai, dan semua murid sudah pulang, Dinda kembali masuk keruangan lalu buru-buru menaruh surat itu dikolong meja Adnan. Dengan penuh harap, dan doa.

"Terserah, nggak apa-apa juga kalo nggak dibalas. Seenggaknya gue udah berusaha kan?" ujar Dinda kepada Meila.

Dan benar saja, keesokan harinya Dinda tidak menemukan sama sekali balasan surat dikolong mejanya, Dinda sedih, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kembali, gadis itu hanya bisa mengagumi dalam diam.

Namun justru yang terbalas adalah tulisan dari teman-temannya. Saat Dinda menaruh surat dikolong meja Adnan, teman-temannya yang lain sibuk menulis sesuatu dimeja Sultan yang berada dibelakang, satu baris dengan meja Dinda.

Mereka nekat menulis semangat kak menggunakan tipex yang mereka temukan dikolong mejanya. Lalu keesokan harinya, tak diduga tulisan itu terjawab. Entah siapa yang menulisnya, namun hal itu mampu membuat teman-teman Dinda memekik histeris.

Siap!

Jawabnya dimeja itu. Dibawah tulisan semangat, dan menggunakan tipex yang sama.

Dinda menjadi tidak tahu harus senang atau sedih. Suratnya tak terbalas, persis seperti perasaannya. Dinda pun memilih pasrah, memilih untuk membiarkan semesta menjalankan dramanya. Lagipula sebentar lagi akan perpisahan, apa sih yang Dinda harapkan dari semua penantian ini?

Hampir satu tahun menyimpan rasa, tak pernah terungkap, tak pernah terbilang. Lalu mengharapkan rasa itu berbalas? Orang bodoh pun tahu itu mustahil, jadi lebih baik bagaimana? Menyimpan perasaan walaupun sakit, atau menyatakan walaupun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan?


•••


Kalau ditanya apa sekarang rasa itu masih ada? Jawabannya tentu saja, iya.

Rasa ini tetap setia, dia menetap disana, meski ada yang lain, namun sosoknya kembali menyadarkan bahwa mungkin yang aku tunggu adalah dia.

Sudah hampir dua tahun berlalu, dan rasanya tetap sama. Sama persis seperti saat pertama kali mengenalnya awal SMA. Dia sudah jauh memang, dia dipulau yang berbeda, tapi sekali lagi, perasaan ini tetap sama.

Untuk abang, kami doain semoga abang kuliahnya lancar. Tetap semangat, jangan lupain SMA kita ini, suatu saat kita bakal ketemu lagi kok, bang. Sekarang ketemunya lewat instastory dan postingan abang dulu ya, hehe.

Suka kangen sama abang kalo udah lewat depan rumah abang yang sepi. Biasa ketemu paling mentok ya motornya doang, tapi sekarang jejaknyapun menghilang. Tetap semangat, dan semoga nyaman dikota orang!

—dins.

It's YouWhere stories live. Discover now