Bertemu

6.8K 678 2
                                    

Amira setuju untuk kencan sekali lagi denganku. Ia sendiri yang memilih tempat dan waktunya, makan malam di restoran kelas menengah ke atas yang terletak di kompleks Town Square Sabtu ini. Kudengar, harga-harga makanan di sana terbilang mahal untuk kantong mahasiswa. Kudekati Mbak Rani yang sedang memasak sarapan di dapur.

"Mbak,"

"Ya, Dim?"

"Boleh pinjam uang, nggak?"

Mbak Rani mengalihkan pandangannya dari tumisan sayur di penggorengan, "Buat apa? Kan baru beli kacamata."

"Nah, itu masalahnya," kugaruk kepala, berusaha mengumpulkan alasan. "Kupikir honor dari terjemahan kemarin bisa keluar cepet, ternyata baru bisa diambil bulan depan." Aku tidak sepenuhnya berbohong mengenai pekerjaan sampinganku sebagai penerjemah lepas. Memang sebagai mahasiswa sastra, pekerjaan di bidang tulis menulis adalah keahlian kami. 

"Lagi butuh banget, ya?" kuanggukkan kepala cepat. Mbak Rani mencecap masakan yang dibuatnya dengan puas, lalu mematikan kompor. "Nanti siang deh aku ke ATM. Butuh berapa?"

Kusebutkan nominal yang kubutuhkan, mbak Rani mengangguk setuju. Kakakku ini memang pengertian sekali. Menjelang pukul lima sore, aku mulai gelisah. Mondar-mandir di kamar, keluar-masuk kamar mandi, meski setelah di dalam sana aku tidak tahu harus melakukan apa. Kuputuskan untuk berganti pakaian, lalu menyetir mobil tanpa tujuan. Kupikir dengan berjalan-jalan akan membantu meredakan kegugupan. Aku berjanji menjemputnya di rumah pukul setengah tujuh, sementara kompleks rumah Amira dapat ditempuh dalam lima belas menit perjalanan saking dekatnya. Jalanan di depanku berangsur macet. Selain lampu lalu lintas berubah merah, sepertinya ada truk yang mogok dan menghambat laju kendaraan lain. Aku menunggu dengan sabar. Ketika lampu berubah hijau, kuinjak pedal gas, namun pada saat yang sama pedal rem juga kuinjak. Sesosok gadis nekad menyeberang di depanku meski lampu sudah berubah hijau. Suara klakson bertalu-talu menambah bingar.

Kuturunkan kaca jendela seraya meneriaki, "Lihat-lihat dong mbak, kalau jalan." Kepala yang tertunduk tersebut perlahan terangkat. Pandangan kami bertemu. "Lho ... kamu yang injak kacamataku, kan?"

 kamu yang injak kacamataku, kan?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Puzzle Piece √Where stories live. Discover now