Jalin

13.6K 1K 7
                                    

"Kamu nggak pernah bisa ngertiin aku!"

"Gimana aku bisa ngertiin, kalau kamu terlalu banyak permintaan?!"

Suara sepasang kekasih yang saling beradu argumen tersebut tiba-tiba lenyap seiring ditekannya tombol merah pada remote televisi. Kakak perempuanku yang sedang hamil tua terlihat kepayahan saat hendak bangkit dari sofa. Kujulurkan tangan membantunya.

"Masih belajar aja?" tanyanya padaku yang duduk bersila di lantai. Kuanggukkan kepala. "Ujian kapan?"

"Minggu depan," jawabku singkat. Pundakku ditepuknya perlahan sebelum berjalan menuju kamarnya.

"Tidur dulu, ya. Kalau suamiku pulang, tolong bilangin makan malamnya ada di dalam microwave, dia tinggal panasin aja."

"Mbak," panggilku sebelum langkahnya benar-benar jauh.

"Ya?" kepalanya terjulur dari sela-sela lemari pendingin dan rak piring. 

"Mbak nggak pernah nanyain, kenapa belakangan ini mas Arif pulang telat terus?" iseng-iseng kuajukan pertanyaan ini. Mbak Rani tergelak bukan main seolah-olah aku ini seorang stand-up comedian.

"Pasti nanya beginian gara-gara sinetron tadi," celetuknya asal. Ia urung pergi ke kamar, malah membawa cangkir minumnya kembali ke ruang tengah. "Enggaklah, Dim. Aku percaya Arif laki-laki baik."

"Tahu dari mana?"

"Kamu kan cowok juga," cebiknya. "Harusnya kamu yang lebih tahu ciri-ciri cowok brengsek sama nggak brengsek."

Kudecakkan lidah dengan gemas, "Aku beda sama mas Arif. Zaman Mbak masih pacaran sama dia dulu, temen-temen mas Arif pada suka nongkrong di kafe malam. Pergaulannya nggak jelas. Apalagi sekarang Mbak lagi hamil."

"Dimas," Mbak Rani menatapku sok keibuan. "Makanya punya kacamata itu dipakai. Biarpun teman-temannya Arif itu brengsek, tapi nggak lantas menjadikan dia brengsek juga. Komitmen itu diniati lewat cara berpikir, dan diamini dalam setiap perilaku. Arif merokok? Enggak. Arif pernah pulang mabuk? Enggak juga. Arif pernah mention teman perempuan secara khusus dengan nada persuasif di twitter ditambah emot cinta atau cium? Enggak pernah. Arif pernah pergi tanpa pamit? Enggak sama sekali. Teman boleh biadab, tapi sejauh dia masih memegang pendiriannya, nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Mbak Rani mengembuskan napas panjang, "Kalau kamu benar-benar mencintai seseorang, tanpa perlu tuntutan apa-apa, kamu akan terpacu untuk terus memperbaiki diri deminya. Itu yang disebut cinta."

Kata-kata Mbak Rani menyayat hatiku. Segala kekhawatiran tentang kakak ipar yang setahun belakangan tinggal serumah denganku kini sepenuhnya sirna. Mbak Rani mengambil kembali cangkirnya di meja, lalu beranjak ke kamar.

"Mbak tidur dulu, ya. Ngomong-ngomong, kacamatamu ke mana, sih?"

"Pecah."

"Pecah lagi?"

"Kali ini bukan aku yang pecahin," balasku datar. "Diinjak cewek nggak dikenal waktu di kampus tadi."

Wajah Mbak Rani menyiratkan pertanyaan yang menunggu terucap. Namun ia mengatupkan bibirnya kembali dengan cepat. "Tidur dulu. Jangan lupa pesenku."

Jawabanku tertelan debaman pintu yang diiringi suara anak kunci di putar. Aku melanjutkan membaca. 

 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Puzzle Piece √Where stories live. Discover now