Dua Puluh Lima

Mulai dari awal
                                    

"Lo bikin posisi gue sulit," kata Navasha lirih.

"Gue bukannya mau menyulitkan lo. Seandainya gue nggak dikejar deadline nikah sama nyokap, gue masih bisa nunggu lo beberapa tahun lagi. Tapi kali ini gue didesak, Sha. Gue nggak mau nyerah gitu aja tanpa mencoba." Emil meraih wajah Navasha dengan tangan besarnya, lalu mengelus pipi Navasha lembut. "Apapun yang nantinya akan terjadi, gue akan selalu sayang sama lo."

"Seandainya gue bisa nentuin jatuhin hati ke siapa, gue pasti milih lo. You are perfect. Maaf, gue sering nyakitin lo."

"Jangan sedih. Kalau lo sedih, hati gue sakit. Lo harus selalu senyum, oke?" Navasha mengangguk seraya mengulum senyumnya. "Gue bayar makanan kita dulu. Baru gue antar lo pulang."

Navasha membiarkan Emil berlalu ke kasir. Dalam diam, ia memerhatikan setiap gerakan Emil. Emil merupakan paket komplit calon suami idaman setiap wanita. Ia tampan, mapan, baik hati, penyayang, dan tidak pernah menuntut banyak. Tipe laki-laki yang mudah untuk disayangi. Sayangnya, Navasha masih terbelenggu dengan perasaan masa lalunya. Masih ada bayangan Deo di hatinya. Membuat gadis itu sulit untuk membuka hati pada laki-laki lain. Apalagi saat ini Deo hadir kembali di hidupnya. Bagaimana Navasha bisa move on?

"Lo mau langsung pulang atau mau mampir dulu?" tanya Emil ketika ia sudah selesai membayar tagihan makanan mereka.

"Gue mau ke kedai kopi dulu, boleh?"

"Lo mau minum kopi malam-malam gini? Ntar lo nggak bisa tidur. Besok kan harus kerja. Besok aja deh gue temenin kesananya," tolak Emil halus. Ia takut Navasha begadang malam ini hingga kondisi gadis itu tidak fit keesokan harinya.

"Gue nggak beli kopi," geleng Navasha. "Gue masih sayang badan."

"Lah, terus beli apa?"

"Mau beli es soerum regal yang ada di sana," jawab Navasha dengan cengiran lebarnya.

"Kalau itu boleh. Yuk, ntar keburu malam." Emil meraih tangan Navasha lalu menggenggam tangan yang ukurannya lebih kecil dari tangannya itu. Sela-sela jari Navasha ia isi dengan jarinya sendiri.

"Mil," tegur Navasha.

"Izinin gue, Sha. Gue cuma mau cari peruntungan gue," kata Emil yang tidak mampu lagi ditolak Navasha. Navasha membiarkan tangannya digenggam tangan Emil yang hangat.

***

"Makasih traktiran sea food dan ini." Navasha mengangkat gelas minumannya. Emil tersenyum lalu mengangguk.

"Gue bahkan bersedia traktir lo seumur hidup gue." Navasha salah tingkah mendengarnya balasan Emil. Ia buru-buru keluar dari mobil Emil.

"Hati-hati di jalan. Jangan ngambek lagi ke bokap-nyokap lo," ledek Navasha.

"Gue nggak ngambek. Lagi males debat aja," sangkal Emil. "Lo masuk sana. Gue liatin sampai masuk pintu."

Navasha mengangguk lalu melambaikan tangannya pada Emil, berpamitan. Lalu, ia masuk melewati pagar yang sudah dibuka sebelumnya. Navasha mengernyit heran mendapati mobil sport yang sudah mulai sering ia lihat terparkir di depan pintu garasi rumahnya. Gadis itu buru-buru masuk ke dalam rumah, memastikan bahwa tebakannya benar.

"Assalamualaikum." Navasha mengedarkan pandangannya setelah melewati pintu. Mencari seseorang.

"Deo, ngapain kesini?!" pekik Navasha ketika mendapati Deo duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Ia bahkan tidak mengindahkan jawaban salam dari orang di dalam rumah.

"Baru masuk rumah kok teriak sih, Sha?" tegur Yoga.

"Deo ngapain ke sini, sih, Pa? Kan udah malam," gerutu Navasha. Yoga menghela napas melihat kelakuan anak sulungnya tersebut.

"Deo kesini karena dia khawatir sama kamu. Kalian lebih baik bicara dulu. Papa sama Mama mau ke kamar." Yoga membawa istrinya ke kamar. Sebelum itu, Navasha sudah mendapat tatapan peringatan dari ibunya.

"Kamu ngapain, sih, kesini? Kan aku udah bilang nggak di rumah," kesal Navasha pada Deo setelah kedua orang tuanya pergi.

"Kamu tadi bilang aku boleh datang meskipun kamu nggak ada." Navasha terdiam. Deo benar. Ia tadi hanya melarang jangan menyusulnya.

"Kamu nggak mungkin kesini kalau bukan untuk liat aku kan?" tuduh Navasha. Ia menatap tajam Deo.

"Oke-oke. Aku ngaku. Aku kesini emang karena kamu. Seperti kata Papa tadi, aku khawatir sama kamu," aku Deo.

"Khawatir apa sih, Yo? Aku cuma pergi makan malam sama Emil," erang Navasha. Ia merasa Deo mulai protektif padanya dan Navasha tidak suka itu.

"Aku tahu aku berlebihan. Tapi kamu nggak balas chat aku, nggak angkat telepon. Wajar aku khawatir," bela Deo untuk dirinya sendiri. Navasha memang tidak menyentuh ponselnya sama sekali sejak terakhir ia berbalas pesan dengan Deo. Ponselnya tersimpan rapi di dalam tas.

"Yo, kita belum ada hubungan apa-apa kamu tapi udah over protective gini ke aku. Kamu tahu aku nggak suka terlalu dikekang." Deo menunduk, sadar akan kesalahannya. Ia hanya terlalu khawatir ketika semua pesan dan teleponnya tidak dijawab oleh Navasha. Apalagi ia tahu jika Navasha pergi bersama Emil, saingannya. Laki-laki itu semakin gelisah.

"Maafin aku. Aku sadar aku berlebihan. Aku cuma terlalu khawatir dan ... takut." Suara Deo mengecil di ujung kalimat. Navasha menghela napas berat melihat kelakuan laki-laki yang masih tersimpan di hatinya itu.

"Yo, aku masih belum memutuskan apapun. Semuanya masih abu-abu di kepalaku. Lagipula Emil meminta waktu satu minggu untuk dia berjuang."

"Maksud kamu?" tanya Deo tidak mengerti.

"Emil akan dijodohkan dan dia nggak mau. Dia meminta waktu satu minggu untuk meyakinkanku menerima dia sehingga dia tidak perlu menerima perjodohan tersebut," jelas Navasha yang membuat laki-laki itu terdiam.

Berarti dalam waktu satu minggu Emil akan sangat intens mendekati Navasha. Alarm bahaya berbunyi di kepala Deo.

 Alarm bahaya berbunyi di kepala Deo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*tbc

Love,
Vand🦋

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang