Mas Adam meraih punggung tanganku yang menggelayut di lengan kirinya, sejenak dia mengusap lembut tanganku. "Nggak boleh suudzon sama orang, nggak baik. Bu Endah orangnya baik, kok. Coba kamu lebih usaha lagi dapetin hatinya Bu Endah, insyaallah Bu Endah pasti mau bantu kamu."

"Iiih, dibilangin nggak percaya. Belain Bu Endah aja sana terus." Aku merajuk, melepas tangannya kemudian bangkit dan berjalan kearah lantai dua, tepatnya ke kamar. Dengan perasaan dongkol yang tidak keruan.

Sekitar setengah jam kemudian, aku mendengar pintu kamar di buka. Aku menghapus air mata di pipi lalu memejamkan mata pura-pura tidur. Kebiasaan Mas Adam kalau aku merajuk dia akan mendiamkan aku untuk beberapa waktu, tidak langsung menghampiri dan mencoba membujukku untuk tidak merajuk.

Aku tipekal yang tidak suka punya masalah dibiarkan berlarut-larut terlalu lama. Kami berbeda dalam menangani masalah, itu yang kadang membuat kita alot untuk berdamai meski sebenarnya berawal dari masalah sepele.

Aku memang mengenal Mas Adam dalam kurun waktu yang singkat, hingga akhirnya aku memutuskan menerima pinangannya karena takdir Allah. Kepribadiannya yang rapi, disiplin, kerja keras, bahkan kebiasaanya yang tak suka kopi, yang alergi seafood, yang sangat menyukai pantai dan kebiasanya yang lupa memakai dasi semua kupelajari ketika aku sudah menjadi istrinya.

Namun, satu hal yang belum aku pelajari darinya adalah tentang masa lalunya. Aku tidak tahu bagaimana dia dulu, meskipun aku sah menjadi istrinya aku tak berani untuk menanyakan. Karena aku tahu mungkin masa lalunya menjadi miliknya yang tak mestinya aku ungkit. Dan yang harus kupahami adalah masa depan Mas Adam adalah kehidupannya saat ini, yakni kehidupan keluarga kecil kami.

Bagaimanapun juga, kenapa sih tabiatnya laki-laki itu kadar kepekaannya itu sedikit? Dan kenapa juga tabiatnya wanita itu terlalu perasa?

Aku menenggelamkan wajah di bawah bantal saat mendengar Mas Adam naik ke tempat tidur.

"Jangan kayak anak kecil,"tegurnya.

"Iya memang aku masih kayak anak kecil, nyesel, kan, udah nikahin anak kecil?" Usiaku dengannya memang terpaut tujuh tahun.

Mas Adam terdengar tertawa kecil sembari menelusupkaan tangan kirinya di pinggangku. Kemudian dia mendekap, hidungnya tepat di belakang telingaku.

"Saya sama sekali tidak pernah menyesal menikahimu, malah saya merasa beruntung. Saya juga tidak pernah penasaran, jika bukan denganmu, dengan siapa. Karena saya sudah merasa sangat bersyukur menikah denganmu."

Meski tadi dadaku terkuasai egoism dan rasa kesal, mendadak mendengar kalimatnya, dadaku berdegub kencang. Mas Adam memang bukan tipekal laki-laki yang suka bicara romantis, namun sekali bicara mengenai hati, aku tidak bisa berkata apa-apa, selain reaksi jantungku yang menggedor-gedor dada.

"Saya memahami kekuranganmu, saya memahami seutuhnya tentang kamu. Dan saya tidak pernah mempermasalahkan itu karena bagi saya kekurangan yang ada pada dirimu adalah keistimewaan yang harus saya syukuri. Manusia tidak ada yang sempurna," lanjutnya, deru napasnya terasa sekali menelusup permukaan daun telingaku.

"Tapi Mas Adam terlalu sempurna buatku. Bukan hanya Bu Endah yang terlihat sensi, tapi beberapa mahasiswi juga memandangku seolah aku nggak pantas jadi istri Mas Adam."

"Kalo sayanya milih kamu, ya, mereka bisa apa? Mereka nggak punya hak mencampuri urusan rumah tangga kita. Sudahlah jangan dengerin omongan orang, kita itu hidup untuk hidup kita sendiri bukan untuk menjadi objek penilaian orang lain."

Merasa luluh, perlahan aku memutar tubuh dan menatap senyuman Mas Adam. Pria ini sungguh, kenapa tampak begitu sempurna? Allah memahat wajahnya begitu rupawan. Aku semakin minder menjadi istrinya.

[DSS 4] Diary SyabilМесто, где живут истории. Откройте их для себя