[29] - Aku Disini

73 11 0
                                    

Sesuai apa yang ditakutkan Hacleo, hal pertama yang ditanyakan oleh Senri ketika perempuan itu bangun adalah, "Dimana adikku?"

Hacleo menegang tanpa bisa menjawab. Padahal ia sudah berlatih ribuan kali di dalam kepalanya dan sudah menyiapkan jawaban yang sempurna tanpa cela untuk Senri. Namun ketika pandangan menusuk perempuan itu akhirnya tertuju padanya, lidah Hak menjadi kelu.

Saat itu, Lei maju sebagai pahlawan. Menjelaskan segalanya pada Senri dengan lembut, pelan dan penuh simpati. Di luar dugaan Hak, Senri menerima segalanya dengan cukup tenang. Namun, ketika akhirnya Lei meninggalkan mereka berdua untuk berbicara, Senri langsung menampar pipi Hak dengan kuat tanpa peduli bahwa dia adalah Sang Khaiva.

Hak hanya bisa melongo dan memegang pipinya yang panas dan nyeri.

Mata Senri menyala dengan marah. Senri sadar, segala perlakukan Sang Khaiva adalah untuk menolongnya selama ini. Tapi Senri tetap saja tidak bisa menerima seseorang yang sudah membohonginya selama hampir sepuluh tahun. "Keluar." Desisnya dengan nada bergetar.

Sepasang iris yang selalu menguarkan sorot keibuan dan sayang itu kini berubah dingin dan asing, membuat jantung Hacleo serasa diremas, ditusuk dan diluluhlantakkan. Wajahnya menghijau, dan dia terlihat tidak siap untuk menerima perlakuan kasar dari Senri. Ia maju selangkah, "S—Senri, aku—"

"Aku bilang keluar!" Senri menjerit dan melemparkan segala barang di sekitarnya dengan membabi buta. "Keluar! Aku tidak mau melihat wajahmu!"

Hacleo menghela nafas, tidak punya pilihan lain selain menuruti perkataan Senri. "Maafkan aku..." lirihnya sebelum menghilang dan meninggalkan Senri sendiri dengan nafas tersengal hebat.

Ketika keheningan akhirnya membungkusnya, saat itu jugalah air mata Senri mengalir deras. Ia mengingat kembali bagaimana rasanya ditinggal pergi sebatang kara di dunia ini. Ia mengingat kembali pada Hacleo dan hari-hari yang ia jalani bersama dengannya. Semuanya terasa damai dan menyenangkan. Namun sekarang, dada Senri terasa sakit sekali dan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia bertahan hidup hanya demi membahagiakan adiknya. Setelah mengetahui kebenarannya sekarang, untuk alasan apa lagi Senri harus hidup?

Segalanya terlalu mengejutkan dan Senri tidak bisa menerimanya begitu saja. Air matanya bagai bendung yang jebol, mengalir deras tanpa henti, menetes terus menerus membasahi wajah dan pakaiannya.

***

Hari demi hari berlalu, Senri seperti kehilangan kemauannya untuk hidup. Ia hanya duduk dan menatap ke luar jendela, tanpa makan dan minum, tanpa bicara. Tidak ada seorangpun yang bisa membuatnya bereaksi, termasuk Lei.

Perempuan itu keluar dari kamar Senri dan menutup pintu dengan pelan di belakangnya. Mendapati Hak yang bersandar di samping pintu, Lei menghela nafas dan menggeleng pelan. "Senri masih butuh waktu." Lei beralasan, namun Hak tahu kebenarannya.

Senri tidak mampu menerima kenyataan. Ia tidak mampu menerima keberadaan Hacleo dalam hidupnya. Bagaimana Hak bisa sampai hati menatap perempuan yang dicintainya kian lemah setiap harinya?

Hacleo adalah Sang Khaiva, ia selalu membuat rencananya matang-matang dan tidak pernah salah langkah dalam hidupnya. Namun kini, melihat Senri yang seakan tak berjiwa membuat Hak mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah dia sudah salah kali ini? Apakah seharusnya dia tidak pernah muncul dalam hidup Senri? Jika begitu, apakah perempuan itu akan menderita seperti sekarang?

Mungkin lebih baik jika Hak menghilang saja.

***

Malam itu, lagi-lagi Senri menangis dalam tidurnya. Ia selalu bermimpi buruk, mengejar punggung Ayah, Ibu dan adiknya tanpa hasil. Semakin ia mempercepat langkah, semakin mereka kian menjauh darinya. Senri selalu bangun bersimbah keringat dan air mata, lalu setelahnya ia akan kembali duduk dengan pandangan kosong hingga matahari terbit.

Rêveuse ✔Where stories live. Discover now