[27] - Kembalinya Sang Khaiva

75 11 0
                                    

"Wah, kamu masih hidup?" Anemoi bertanya sarkas kala menatap tubuh Senri yang masih bergetar, dadanya masih naik turun tak beraturan, berusaha untuk menyalurkan oksigen dan membuatnya tetap sadar.

Perlahan, Anemoi berjalan mendekat. Setiap langkah kakinya seakan mengandung racun yang membuat tanaman yang diinjaknya layu dan menghitam. Senri terkesiap, sekuat tenaga berusaha untuk bangkit dan melarikan diri. Ia ingin berteriak, namun tenggorokannya seakan terkunci dan tidak ada suara yang keluar. Belum sempat Senri bangkit, Anemoi sudah mencengkram bagian depan pakaiannya sekali lagi dan menariknya berdiri dengan mudah serupa mengangkat boneka.

Kaki Senri menggantung di udara, ia memberontak, menendang dan mencakar tangan yang mencengkramnya, namun ayal, Anemoi terlalu kuat untuknya yang terluka parah. "Hmm..." Mata Anemoi menyipit, "Aku melihat energi Zephyra di dalam dirimu. Mungkin karena itu kamu masih bisa bergerak ketika energiku mengoyak jantungmu, tapi tidak apa-apa," Anemoi mengangkat tangannya, dan cahaya kuning berkumpul di telapak tangannya, membentuk sebuah pedang tajam yang bersinar saking tajamnya, "Satu kali lagi, dan kamu akan selesai."

Senri semakin memberontak. Air matanya mengucur semakin deras, namun segenap perlawanannya hanyalah gerakan main-main bagi Anemoi. Dewi angin itu menarik nafas, lalu mengayunkan pedangnya. Namun, sebelum Senri dapat merasakan sakit apapun, mendadak suara petir menggelegar begitu kuatnya terdengar, seakan-akan petir itu menyambar dekat sekali dengan Senri, dan diikuti dengan jeritan kesakitan Anemoi.

Pegangannya di pakaian Senri terlepas, membuat perempuan itu sekali lagi menghantam tanah dengan keras. Namun kali ini, bukannya sakit yang dirasakannya, namun sesuatu yang lembut dan hangat melingkupi tubuhnya, dan Senri mendapati dirinya berada di pelukan seseorang.

Dengan nafas tersengal, Senri berusaha membuka matanya, melihat siapapun yang sedang memeluknya dengan sangat erat. Laki-laki itu sangat memesona. Di tengah kesadarannya yang kian menipis, Senri merasa seorang dewa lain telah turun ke bumi untuk menolongnya. Seorang dewa yang sangat rupawan, dewa yang sedang menangis dan memeluknya dengan tubuh bergetar, "Senri...Senri..." panggil suara itu terus menerus.

Senri mendongak, matanya bertemu dengan sepasang mata familiar yang penuh dengan air mata. Sepasang mata kelam yang penuh dengan kesakitan, kesedihan dan penyesalan. Dimana Senri pernah melihat sepasang mata itu? Kenapa rasanya begitu familiar? Kenapa dia merasa sangat aman di dalam pelukan pria yang tidak dikenalnya ini?

"S—Siapa..." Senri ingin berkata lebih lagi, namun rasa sesak di dadanya begitu kuat mencekam, membuatnya tersentak dan lebih banyak lagi darah yang keluar dari mulutnya.

"Jangan berbicara," Suara laki-laki itu berbalur kecemasan dan kepanikan, "Kamu akan baik-baik saja. Kamu akan hidup, tetaplah bersamaku, Senri, jangan tutup matamu. Berusaha untuk tetap sadar."

Ah, Senri tahu dimana dia pernah melihat mata itu. Dia terlalu lama menyadari karena selama ini, mata itu adalah milik seseorang yang selalu ada di sampingnya, mata seseorang yang selalu menemaninya menjalani hari-hari, mata milik seorang anak laki-laki yang namanya tadi Senri sebut, "Hacleo..."

Hak menangkap tangan Senri yang menyentuh wajahnya, tangannya terasa sangat besar dan hangat, membuat ketakutan dan keputusasaan Senri tadi hilang tak berbekas, berganti dengan rasa damai dan nyaman. "Ya, kamu benar. Aku Hacleo. Sekarang, berhenti berbicara." Ucapnya tegas, lalu berpaling pada Anemoi yang sedang mencengkram tangannya yang hampir putus akibat serangan petir tadi. Matanya berubah keras dan dingin, mata penuh penghakiman dan kemarahan yang tertahan. Dan Senri dapat melihat mata kelam itu menyerupai perak akibat terpantul petir yang terus menyambar tanpa henti sedari tadi.

"Zephyra!" desis Anemoi penuh dendam.

Di hadapannya, Lei berdiri tegak, tubuhnya dilingkupi dengan cahaya biru yang mematikan. Udara di sekelilingnya seperti stagnan, daun-daun berhenti bergemerisik, bahkan tidak ada suara angin yang terdengar, seakan-akan seluruh penghuni hutan itu sedang menahan nafas dan takut untuk membuat suara sekecil apapun.

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang