[10] - Aku Bukan Saya

90 13 0
                                    

"Anda akan ke kuil Dewi Zephyra lagi, Tuan Putri?"

Langkah Lei terhenti di tempat kala suara yang familiar itu menyapanya. Saat ini, Lei sedang berjalan menuju ke daerah pepohonan yang terletak di belakang kuil Dewi Zephyra, tempatnya mendapatkan ketenangan jiwa seperti biasa. Tepat di bawah tangga yang terhubung langsung menuju kuil tersebut, suara itu menghentikan Lei.

Lei tidak berbalik, juga tidak menjawab pertanyaan Seth.

Lelaki itu mengangkat alis, lalu melihat Lei yang tidak membalas pertanyaannya meski sudah beberapa saat berlalu, Seth pun berjalan ke arah Lei dan mengintip wajah perempuan itu dengan heran.

Lei tampak membuang muka, tidak mau menatap matanya.

"Tuan Putri?"

Mungkin bagi semua orang yang melihat Lei, perempuan itu akan tampak seperti boneka hidup yang cantik dan dingin, tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya, namun bagi Seth yang sudah berinteraksi dengan Lei setiap hari, dia mulai bisa menangkap dan mengerti ekspresi-ekspresi tersirat di wajah Lei.

Lei mengeraskan rahang dan tidak mau menatap wajah Seth. Dia mengerti jelas arti ekspresi itu, Lei sedang kesal.

"Tuan Putri, Anda sedang kesal?"

Sedetik setelah Seth menanyakan pertanyaan itu, wajah Lei tampak lebih dingin lagi, dan ia semakin membuang wajahnya menghindar dari Seth. Seth bahkan seperti bisa melihat aura permusuhan yang keluar dari seluruh pori-pori di tubuh Lei.

Apa lagi kesalahan yang sudah Seth lakukan?

Ah. Mendadak Seth teringat akan sesuatu. "Maaf." Senyum tipisnya tertahan. "Bukan Tuan Putri, tapi Lei mulai dari sekarang. Maafkan saya, Lei." Seth pun mengulangi pertanyaannya kembali. "Anda sedang kesal?"

Lei kontan menggeleng, dan Seth dapat menangkap perubahan emosi di wajah datar itu. Ternyata panggilan itulah yang menjadi sebab kekesalan Lei. Seth lupa akan permintaan perempuan itu semalam dan refleks langsung memanggilnya dengan Tuan Putri seperti biasanya.

Namun tampaknya Lei tidak suka dipanggil dengan sebutan Tuan Putri. Pantas saja selama ini perempuan itu selalu menguarkan aura permusuhan padanya.

Tanpa bisa ditahan, Seth mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk puncak kepala Lei. "Anda sedang menuju ke kuil?" tanya Seth lembut, meski dia sudah bisa menebak jawabannya dari kebiasaan perempuan itu setiap harinya.

Lei mengangguk.

Hari ini, perempuan itu mengenakan pakaian santai berwarna pastel dengan mantel tebal berwarna putih. Salju sudah mulai turun sejak kemarin malam, dan membuat udara pagi ini begitu sejuk sampai-sampai kepulan uap dapat terlihat kala bernafas.

Seth tersenyum. Lei tampak menggemaskan dengan pakaian yang telah dipilihkan sendiri oleh Seth. Awalnya, lelaki itu begitu kerepotan karena Lei tidak pernah memakai mantel saat bepergian, yang mengakibatkan Seth terus mengomeli Lei panjang lebar.

Syukurlah sekarang perempuan itu sudah tidak membantah perintah Seth lagi.

"Kalau begitu, saya pergi dulu. Hati-hati melangkah di tangga." Seth memberi nasihat singkat sebelum hendak beranjak pergi.

Selama ini, Seth selalu memberikan Lei waktu sendiri di saat-saat seperti ini agar perempuan itu dapat lebih beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Meski alasan sebenarnya adalah karena Seth sudah agak trauma pasca kejadian dia yang terlempar dari dalam hutan akibat diam-diam membuntuti Lei.

Seth tidak mau lagi menerima penolakan dari Lei. Tidak setelah perempuan itu sudah lebih membuka hati padanya.

Dia tidak mau lagi memaksa Lei.

Rêveuse ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum