Te Echo de Menos (22)

69.8K 2.7K 41
                                    


Miami.

Hangat.

Indah.

Surga.

Seks.

Aku dan Don Pedro melakukannya setiap hari, dan hanya berhenti jika sang Don harus bekerja.

Oh, dia bekerja keras, setiap hari dia meninggalkanku, dan pulang larut malam. Pada malam hari, aku harus selalu siap menerima keluh kesahnya yang tak pernah berupa kata, melainkan luapan gairah seksual. Kami melakukan penyegaran pada pagi hari, supaya kepalanya kembali segar mengerjakan apapun yang sedang diurusnya di Miami.

Seperti pagi ini.

"Kau semakin hebat, Mi amor!" pujinya dengan suara terengah dan berat.

Aku—telanjang tentu saja, dia senang sekali menelanjangiku—duduk tegap di atas pinggangnya, kedua tanganku meremas pahanya yang kokoh dan kencang, menggoyang pinggul mengikuti entakan pinggang dan dorongan tangannya. Sesekali, jika pinggangnya mengentak kuat dan bagian dari dirinya masuk semakin dalam ke dalam diriku, ia melenguh penuh kesumat, seakan-akan sedang melampiaskan beban dalam benaknya.

Aku juga menikmatinya, aku tak akan bohong. Permainan cinta sang Don sangat memukau, ia hampir tak pernah mengecewakanku. Tentu ada saat-saat di mana aku bekerja lebih keras darinya, atau saat dia egois dan hanya ingin memuntahkan tekanan, tapi selebihnya, saat ia berniat memuaskanku, aku selalu terpuaskan.

Pada ujung pelepasannya, Don Pedro bangkit dan memelukku. Ia mengaum di telingaku sambil mendesak kakiku begitu dahsyat dengan ayunan pinggulnya, kemudian membantingku ke permukaan kasur, dan mengganti posisi menimpaku. Napasnya masih memburu, urat-urat di wajahnya bertonjolan setiap kali ia meletup. Ia akan membutuhkan beberapa detik untuk menetralkannya kembali, biasanya ia melakukannya sambil mengecup dahiku dalam-dalam, atau mencium bibirku.

Dengan sigap aku menarik selimut menutupi tubuhku begitu ia berguling ke samping. Kami menatap langit-langit, beradu suara embus napas kelelahan dalam kepuasan. Sang Don memberiku standar terlalu tinggi mengenai seks, mungkin aku tak akan menemukan seseorang sepertinya lagi. Ia begitu prima dan bugar. Ia memiliki satu sisi tersembunyi yang tak ingin dibaginya dengan orang lain, aku yakin ada beban yang sangat berat bercokol di kepalanya, yang membuatnya selalu ingin meledakkannya dalam hubungan seksual.

Ketika seorang pria tak mampu mengutarakannya, ia akan menemukan cara lain, dan sang Don menumpahkan bebannya di atas tempat tidur. Well ..., kadang juga di kamar mandi, jacuzzi, sesekali di mini bar, di sofa ruang depan, atau dini hari di balkon. Berbagi hasrat dengannya berarti berbagi beban yang tak akan kutahu persis apa dan seberat apa. Setiap kali hal itu mengganggu pikiranku juga, aku mengabaikannya. Aku hanya akan ada di sisinya selama dua minggu, aku tak ingin tinggal dengannya lebih lama.

"Mau minum?" aku menawarinya.

"Whiskey," ucap sang Don gamang.

Aku mengenakan celana dalam dan mantel kamarku, meramu segelas whiskey dan es batu.

Bondingku dan sang Don semakin kuat sejak pertikaian pertama kami. Paling tidak Carlos benar, segalanya bisa diselesaikan dengan hubungan seksual. Aku belajar dari pengalaman, setelah kejadian pertama itu, aku tak pernah lagi menyulut apapun. Aku lebih banyak tersenyum, menanti, dan melayani, seperti yang seharusnya. Satu-satunya yang kuinginkan adalah segera pergi dari sini. Sejak menginjakkan kaki di Miami, aku melihat setidaknya tiga berita mengenai baku tembak antar pengedar narkoba, kadang dengan polisi dan agen khusus narkotika. Tentu saja aku tak bisa memastikan keterlibatan sang Don, tetapi aku pernah dilarangnya memasukkan salah satu setelannya ke binatu hotel. Sewaktu aku meneliti busananya selama ia mandi, aku menemukan percikan darah di celana dan lengan kemejanya.

Sang Don bangkit dari tidur, "Gracias, terima kasih," ucapnya sambil menerima gelas dari tanganku.

Aku duduk di sisinya, sang Don membelai wajahku usai satu tegukan kecil whiskey membasahi bibir tipisnya.

"Te echo mucho de menos, Mi amor, aku sangat merindukanmu, Cintaku," ucapnya manis.

Aku membalasnya dengan senyuman, "Sedang sibuk-sibuknya?"

Dia mengangguk, dan selalu seperti itu. Semakin hari, aku semakin paham kebiasaannya. Saat pertama kali hal seperti ini terjadi, aku menanti, berpikir sang Don akan mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah satu kata pun terucap dari bibir di balik kumis tipisnya yang menawan. Mungkin ia berdialog dengan dirinya sendiri, aku tak tahu.

"Apa kau bersenang-senang selama aku bekerja?" tanyanya.

Sebenarnya, aku agak takut keluar dari hotel. Dari awal aku tahu bahaya dan risiko apa yang mungkin mengikutiku. Aku memang tak tahu pasti siapa sang Don, atau sebahaya apa dia, yang diungkap di televisi tentang mafia Kolombia selalu hanya tentang Pablo Escobar.

"Keluar, jalan-jalan, dan belanjalah. Berjemur, kapan lagi kau menggelapkan kulitmu kalau bukan sekarang? New York selalu dingin, gedung-gedung tingkat mengepungmu, apa kau tidak senang berada di Miami?"

"Senang, aku memanfaatkan semua fasilitas hotel," kataku.

Sang Don tersenyum, "Syukurlah, tapi aku ingin kau lebih menikmati saat-saat sendiri, sebab saat bersamaku ... itu artinya kau harus bekerja. Pakailah kartu yang kutinggalkan waktu itu, kau boleh menggunakannya sesukamu. Belilah bikini, dan berbaringlah di atas pasir, tapi jangan bicara dengan orang yang menawarimu ganja, atau kokain, mengerti?"

Aku mengangguk, menerima ciumannya, "Apa kau akan keluar lagi malam ini?" tanyaku.

Sang Don mengernyit, "Aku baru pulang, Mi amor, kau ingin mengusirku lagi?" candanya.

Dengan manja, aku menyeruduk dadanya pelan dan membiarkannya menjatuhkanku kembali ke tempat tidur. Don Pedro memeluk tubuhku erat dari belakang, sambil mengekeh nakal ia menelusupkan tangannya ke balik piamaku, menyentuh dan meremas buah dadaku dengan nyaman, satu kakinya melingkari pinggulku.

"Hey, bagaimana kalau malam ini kita makan di luar?" bisiknya.

"Benar?"

"Si, kau mau?"

Tanpa malu-malu, aku mengangguk berulang kali dan membuat sang Don tertawa, ia mengubah posisi tidurku menjadi telentang, dan menindihku samar dengan sebagian berat tubuhnya, "Kau membuatku senang, Bonita," katanya.

"Bukankah itu tujuanmu membayarku?"

"Si."

"Berarti aku berhasil?"

"Si."

Kubelai rambut hitamnya yang halus dan kurapikan ke belakang, kubalas tatapannya yang seakan menyelami ke dalam jiwaku. Aku belum pernah jatuh cinta, aku tak tahu apakah aku akan lolos kali ini. Bagi sang Don, tentunya permainan cinta seperti ini sudah dilakukannya berulang kali, dan aku hanyalah salah satunya. Namun bagiku ....

Seakan memahami kegundahan hatiku, sang Don mengecup kening dan bibirku dalam-dalam, menghirup napas yang terembus dari mulutku, kemudian mengisap bibir bawahku sampai aku merintih kesakitan.

Itu tak akan terjadi, itu kah yang ingin ia katakan?

"Bersiaplah," katanya, meletakkan tubuhku dan beranjak. "Aku akan membawamu ke restoran favoritku dan Salazar, mereka punya pantai pribadi, kita bisa berenang telanjang dan bercinta di tepi pantai."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Desired by The DonWhere stories live. Discover now