11. EPISODE KESEBELAS : AWAL PETUALANGAN

37 11 2
                                    

Kabar Sang Dewa

Malam ini aku tidak bisa tidur. Terus saja memikirkan semua hal yang disampaikan Ben padaku. Kami, sebenarnya dia, banyak berbicara di mobil. Tidak hanya itu, dia juga membawaku ke pantai. Sangat di luar dugaan. Aku menganggap ini sebagai kencan yang terselubung. Kalau dia? entahlah, dia mungkin menganggap itu hanya sebagai perjalanan biasa dengan tetangga depan rumahnya.

Hari ini aku tahu isi hati Ben yang sebenarnya. Perasaannya terhadap mendiang kedua istrinya, rasa kehilangannya pada dua orang yang sangat dia cintai. Yang paling membuatku menangis adalah, pengakuan rasa bersalahnya terhadap kematian mendiang kedua istrinya.

Dia tidak berhenti mengucap kalimat, "Seharusnya aku yang mati, bukan mereka! Ini semua kesalahanku yang tidak patut dimaafkan!" Sambil menunduk terisak.

Oh Ben... apa kau tidak tahu kalau aku lebih sedih daripadamu? Aku paling tidak suka melihatmu menangisi mendiang kedua istrimu di hadapanku, karena itu akan membuatku lebih terluka Ben. Kau tahu? Membuatku kembali patah hati, membuatku menjadi gadis paling terpuruk di muka bumi.

Aku merasakan air mataku mengalir membasahi bantal. Kupejamkan kedua mata. Teringat kembali percakapanku tadi sore bersama Ben.

Pria yang kucintai menunduk dalam. Pundaknya bergetar. Kusentuh pelan dengan maksud supaya dia berhenti, tapi justru memelukku dan menangis keras di bahuku.

Ya Tuhan, kuatkanlah aku agar tidak mengatakan sesuatu dan membuat dia menjauh dariku. Aku berseru dalam hati dan mengelus punggungnya yang hangat.

"Ini bukan salahmu Ben. Tuhan sudah berkehendak begini dan kau tahu, Tuhan berarti sangat mencintai istrimu. Aku yakin, mereka pasti bahagia di sana." Ucapku sambil tercekat. Menahan agar aku tidak ikut menangis.

Ben semakin mempererat pelukannya dan aku bisa merasakan seragamku basah oleh air matanya. "Tidak ada gunanya lagi aku hidup, Zee. Semua orang yang kucintai sudah pergi."

"Ssstt... Kau tidak boleh berkata begitu. Kalau kau masih berpikiran tidak ada gunanya lagi untuk hidup, Kak Monica dan Kak Tessa pasti akan sedih. Mereka mempercayakan Josh padamu. Kalau kau masih peduli dan cinta pada anakmu, itu berarti kau masih mencintai kedua mendiang istrimu. Terutama Kak Monica, dia pasti berharap dari atas sana, kau bisa merawat Josh dengan baik." Aku tidak percaya kalau bisa berkata selancar ini, dengan jarak yang juga begitu dekat, pada Ben. Bertolak belakang dengan kebiasaan sehari-hariku yang langsung menciut bila melihat bayangan Ben dari jarak sepuluh meter.

Ben tidak berkata apa-apa. Dia terus menumpahkan kesedihannya di bahuku. Aku ingin sekali mnciumnya dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya, tapi itu tidak mungkin. Aku tidak berani dan biarkan saja seperti ini.

Kami cukup lama berpelukan. Setelah dia agak tenang, aku memberanikan diri untuk bertanya soal Ellen.

"Siapa dia?" Tanyaku hati-hati.

Dia tersenyum miris sambil menghapus air matanya. "Teman, kupikir."

"Kupikir?" Aku tidak paham.

"Dia temanku saat masih sekolah dulu. Kami juga teman satu universitas. Dia mengenal Sam. Dia juga mengenal baik kedua orangtuaku. Aku bertemu dengannya lagi saat keluar kota. Pertemuan pertama setelah sepuluh tahun kami tidak berjumpa." Dia berhenti bicara dan menghapus lagi air matanya. Suara angin pantai dan debur ombak menemani pembicaraan kami.

"Entahlah, kenapa saat itu aku berpikir pendek dan langsung membawa Ellen ke rumah. Berniat mengenalkannya pada Josh dan aku berharap dia bisa menjadi ibu baru bagi Josh, tapi..." Berhenti lagi, menatapku dengan kedua mata hijaunya yang selalu membuat aku lumer.

LOVE AT THE NEIGHBORHOODWhere stories live. Discover now