3. EPISODE KETIGA : MY DAYS

Start from the beginning
                                    

Sudah aman. Thank's God. Aku merapikan dasi dan blazer seragamku. Rupanya kata-kataku cukup didengar  karena dad sudah tidak berteriak lagi.

Kak Tessa menyerahkan kotak besar berpita putih itu padaku. "Semalam Ben pulang dan ini ada sedikit oleh-oleh untuk kalian."

Aku menerimanya. "Terima kasih. Kau selalu saja baik pada kami."

"Itulah gunanya tetangga, Zee." Dia menepuk lembut bahuku.

"Honey!" Sebuah panggilan dari halaman rumah di seberang jalan membuat Kak Tessa dan aku mencari sumber suara. Dia. Laki-laki itu menyeberang jalan menuju rumah.
      
Oh, tidak! Apa yang harus aku lakukan?! Apa aku harus masuk rumah, menutup pintu, menguncinya, dan menahannya dengan lemari? Atau masuk saja ke kotak yang sedang kupegang? Atau menutupi wajahku yang mulai memerah dengan taplak meja? Atau... atau... atau... oh! Dia semakin dekat ke teras rumahku.

Kak Tessa menyambutnya dengan senyuman. Aku bingung. Zee, kau harus tersenyum atau berkata 'hai' sedikit yang penting jangan diam! Kenapa kau selalu bertingkah bodoh begini setiap melihatnya? Lama-lama dia pasti akan menjauhimu dan menyuruh dokter untuk menyuntikkan obat rabies! Ayo Zee, senyum! Senyum! Senyum!

Kak Tessa mengecup pipi kiri pria itu dan merangkul lengannya penuh sayang.

Ben tersenyum, memperlihatkan lesung di pipi kirinya.

"Zee? Apa kabar? Seminggu tidak bertemu." Dia berdiri di depanku dan menepuk bahu kiriku.

"Iy... ya... ap.. pa... kabar juga?" Oh sial! Kenapa gagap di saat seperti ini?!

"Kau sakit, Zee?" dia meletakkan punggung tangan kanannya di dahiku.

"Oh!" Aku cepat-cepat menarik diri. "Aku tid... tidak... ap... apa... apa..." Gagap lagi! Masukkan saja kepalamu ke lemari es kalau kau terus-terusan bertingkah bodoh begini, Zee!

Kak Tessa mulai cemas. "Benar tidak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Mr. dan Mrs. Thompson belum berangkat?" Ben bersiap melongok ke dalam rumah.

Aku menghalangi pintu. "Iya, tapi lebih baik jangan menemui mereka sekarang karena mereka masih menjadi 'monster'." Jelasku dengan suara yang mulai normal. Akhirnya.

"Monster?" Dia tidak paham apa yang kumaksud.

"Nick dan Darius bertengkar lagi." Bisik Kak Tessa.

"Oh... rutinitas di pagi hari, ya?" Dia tersenyum geli.

Telanlah aku lantai! Telan aku! Aku malu sekali pada mereka berdua. Karena terlalu seringnya Darius dan Nick berebut mobil tiap pagi, mereka sampai hapal kebiasaan kedua saudaraku.

Aku tersenyum kecut menanggapi komentar Ben.

"Oops! Aku harus mengantar Josh ke sekolah." Kak Tessa melihat jam tangannya.

"Kalau begitu kita lanjut berbincang lagi nanti, Zee. Aku juga harus berangkat ke kantor." Ben menepuk bahuku. "Bye!" Dia berpamitan pada orang yang berada di belakangku.

"Kami pergi dulu, Zee. Nick." Kak Tessa melambaikan tangan.

"Terima kasih lagi Ben, terima kasih Kak." Ucapku lalu mereka berdua pergi.

Aku masuk rumah, mengabaikan sosok berantakan yang berdiri di ambang pintu. Meletakkan kotak itu di meja ruang makan. Aku membuka tutupnya dan kulihat cake cokelat dengan krim dan buah stroberi segar di atasnya. Hmm... yummy!

"Mom, oleh-oleh dari Ben! Aku makan sepulang sekolah." Aku keluar rumah.

"Oke, Sayang." Mom kembali merapikan penampilan dad.

LOVE AT THE NEIGHBORHOODWhere stories live. Discover now