12. Debate

247 39 3
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





Aku melirik jam di pergelangan tanganku, angka 2.39 PM tertera di sana. Artinya kurang lebih dua jam tigaluluh sembilan menit aku keluar bersama Xiaojun.

"Umm, makasih ya." Kataku sambil menjinjing satu plastik putih berisi camilan.

Xiaojun terkekeh, "Sama-sama, istirahat sana, cemilannya jangan diabisin sekaligus."

"Kenapa emangnya?"

"Ya gapapa sih, ntar nasinya dilupain deh sama kamu." Dia memanyunkan bibirnya, membuat ekspresi menyedihkan.

"Terserah aku dong."

Aku melengos pergi dari hadapannya. Dia tak merespon apalagi setelah itu, dan aku dengar suara mobilnya yang melaju perlahan hingga tidak terdengar sampai di pintu rumah.

Aku menekan lima digit nomor pin dan pintu otomatis terbuka.

"Ast—"

Aku sontak termundur kebelakang, si Taeyong berdiri tepat di hadapanku— astaga dia ini bisa membuat jantungku lepas.

"Sinting." Aku memaksakan diri melewati celah di sampingnya, tidak terlalu sulit sih. Tubuhnya kurus dan aku juga.

"Kamu—"

Langkahku terhenti dan aku menoleh ke belakang, dia perlahan berbalik dan menatapku datar

"Minum—"

"Aku gak minum minuman yang kakak beli dan aku gak tertarik buat makan cemilan kakak." Sahutku ketus dan kembali menapaki anak tangga, bisa saja papa meminumnya— ya aku tidak tau.

"Kamu yang minum semua stok parasetamol di kotak obat?"

Aku menoleh, menatapnya dengan senyum remeh, "Dih ga jelas banget."

"Cara kamu ngelak, ternyata bener."

"Ya udah sih, terserah. Kalo mau minta dibeliin ga usah gitu juga kali. Pake nuduh."

"Brengsek." Taeyong terdengar kalah di sana haha.

"Iya aku brengsek, kamu kan juga? Jadi ga heran deh." Aku terkekeh pelan dengan nada sarkas.

"Kurang ajar, aku kakak kamu—" Bentaknya.

"Ya terus? Kamu kakak aku kenapa? Kita cuman terpaut umur. Selebihnya apa? Kita kayak orang asing." Tegasku dan cepat menaiki tangga dan mengunci pintu kamar.

Taeyong terdiam, ucapan adiknya tadi terus menggema dipikirannya.

"Kita udah terlampau jauh ya? Se-asing itu ya kita?"

Taeyong juga ingat kenapa dirinya lagi-lagi tak bisa mengontrol emosinya saat di depan sang adik, Taeyong semakin merasa tidak berguna jika seperti ini.

"Maaf— Ah, Lee Taeyong kamu kenapa sih."

Taeyong merutuki kebodohannya sendiri.




×××




Tidak, aku tidak menangis. Karena ucapanku itu benar, kenapa harus? Aku tidak kalah.

Pikiranku melayang, memikirkan bagaimana bisa dia tiba-tiba menanyakan itu. Mungkin dia asal menuduh karena tidak menemukannya?

Dia selalu negthink padaku atau apa?

Tunggu—

"Ah malem tadi."

Ya malam tadi saat sedang belajar, aku meminum itu dan mengantuk, mataku tidak sanggup lagi membuka dan aku tidak melemparnya ke tempat sampah, namun malah menyelipkan di sela-sela buku secara sembarang.

Mungkin Taeyong menemukannya karena mengambil flashdisk itu.

"Lee Anna, kamu pinter banget."

Aku menghela nafas, menatap langit-langit kamarku.

"Gimana hari ini berlanjut ya?"




×××



"Anna ikut mama, Taeyong ikut papa."

Taeyong dan Anna menunduk dalam, tidak tau harus bicara apa. Lebih tepatnya mereka masing-masing sedang menyusun strategi untuk membatalkan ini.

"Gapapa ya? Akhirnya kita juga ga sejalan." Sang ibu menghela nafas pelan, sementara sang suami hanya diam dengan raut datar, usahanya untuk mempertahankan tidak sebanding dengan kekukuhan istrinya untuk pisah.

"Lebih baik misahnya pas aku masih kecil aja, kenapa baru ngerasa ga cocoknya sekarang? Aku gamau tinggal sama salah satu kalian. Aku mau sendiri." Anna beranjak dari sofa ruang tengah, meninggalkan ketiga orang di sana.

"Taeyong?"

"Pikir-pikir lagi deh, cuman sekedar papa nunjukin sikap pedulinya ke kolega, kalian berakhir gini? Terus mama jangan keras dong, dengerin penjelasan papa." Taeyong menatap datar.

"Iya kamu ikut papa." Kata mamanya pelan.

"Maaf aku lancang, tapi sikap mama bikin aku muak. Egois, ga peduli—"

"Taeyong—" mamanya mencoba menyentuh pucuk kepalanya, namun ditepis Taeyong.

"Ga usah gini, ga akan berarti apa-apa." Taeyong menatap tajam mamanya yang duduk di sampingnya dan beranjak dari sana.

"Anak-anak kita, Ma. Berapa banyak pedang yang kita hunus ke jantung mereka dalam satu waktu?"



Setelah beranjak dari ruang tengah, Taeyong pergi ke dapur untuk makan sepotong roti dan meminum obat yang baru dibelikan oleh mamanya.

"Hah?"

Saat menunduk cairan liquid merah menetes di lengan kanannya. Taeyong mimisan, karena kaget, hampir saja dia tersedak air minum dan pilnya bisa menyumbat di saluran pernapasan.

Ia bergegas ke kamar, karena kehabisan tisu di sini. Namun terdengar bunyi benturan keras sat melewati kamar sang adiknya, khawatir ada yang tidak beres, Taeyong memutar knop pintu yang kebetulan tidak dikunci.

"N-na?"




SiblingWhere stories live. Discover now