9. Geez

248 41 0
                                    


“Ternyata emang jodoh, ya.”


Aku mengangkat kepalaku, pandanganku berbayang saat melihat sosok laki-laki didepanku—tapi aku tau siapa pemilik suara halus itu, Xiaojun.


“Ngomong apaan?” Kataku.

“Ga hehe, ngapain disini? Aku kira udah di rumah.”

“Kamu ngapain juga bisa disini?”

“Beli cemilan.” Sahutnya.

“Buat?”

“Ya dimakan lah.” Xiaojun tertawa setelah itu, di satu sisi pertanyaan dan jawaban itu pas, di sisi lainnya Xiaojun meledekku, aku tau itu.

“Buat nyemil sih, sambil nonton bola.”

Tidak heran, laki-laki yang suka bola.

“Kamu ga jawab pertanyaan aku, kenapa bisa duduk disini? Kalo ada cowok mesum ngapa-ngapain kamu gimana?”

Aku menunjukkan smirk ku, “Kamu?”

“Bukan lah, aku pelindung kamu.”

Aku diam tidak bergeming.

“Ayo pulang, muka kamu merah. Kepanasan kali ya duduk di bawah tenda siang gini.”

Hehehe. Panas banget.


×××


Saat aku memasuki rumah, rupanya Kak Taeyong sedang santai menonton televisi di ruang tengah. Camilan yang Ia beli tadi sebagian sudah keluar dari plastik dan sisanya tidak Ia perdulikan.

Masa bodoh, bahkan jika dia mabuk-mabukan aku tidak akan peduli lagi. Aku melangkahkan kaki menaiki tangga dan masuk ke kamar untuk mengganti baju dan bergegas turun untuk makan siang.

Rumah dalam keadaan sepi, jam pulang kantor papa dan mama empat jam lagi jika tidak lembur.

Aku meneguk air terakhir di gelas dan berniat belajar, agar malam nanti aku bisa sedikit bersantai.

“Kamu—“

Aku menoleh ke asal suara, kak—maksudku Taeyong itu memanggilku. Jangan berharap reaksi yang baik, aku hanya menatapnya.

“Maafin aku.”

Haha. Lucu memang Lee Taeyong ini. Aku melengos tak menghiraukannya. Aku menganggap itu tak seserius caranya membentakku.

Minta maaf macam apa itu, hah.

“Aku berangkat sekarang, di rumah baik-baik.”

Taeyong mengambil jaket dan kunci mobilnya lalu menuju ke arah pintu.

Masalahnya, sampah yang dia sebabkan menjadi berserakan.

“Bersihin—“

Cklek.

Dia menutup pintunya lebih dulu, sial.

Tok.tok

Aku yang awalnya berniat melangkah naik sontak berbalik, seseorang mengetuk pintu depan.

Apa mungkin Taeyong? Tapi dia bisa masuk sendiri.

“Siapa?” kataku.

“Ajun nih.” Sahut orang yang berada di luar.

“Ajun?” batinku.

Aku menarik knop pintu, dan ternyata.

“Ayang Xiaojun, Na.” Kata laki-laki itu dengan gelak tawanya yang tertahan.

“Ngapain kesini?” Ia berniat masuk, namun aku merentangkan tangan di pintu. Menahannya.

“Belajar bareng.”

Aku berbalik, “Duduk aja dulu, aku ambil buku.”

Dia menurut dan duduk di depan tv, “Na, kamu yang makan? Berantakan banget nih.”

Aku bisa mendengarkan keluhannya, namun tidak aku hiraukan. Malas berteriak, kecuali dia bertanya lagi saat aku kembali.

“Sorry.”

Aku menoleh, dia mengabaikanku karena menonton tv yang lupa aku matikan.
“Permisi pak.”

“Eh?”

Dia melirikku, aku tau.

“Berantakan banget kamu makannya.”

“Sembarang, bukan aku.”

Aku meremas plastik cemilan satu persatu dan memasukkan ke tong sampah yang aku bawa mendekat.

“Yang bersih ya, nanti gajinya full.”

Aku sontak menatapnya tajam, “Repeat.”

“Ga hehe, buruan. Kita belajar.” Elaknya.

“Belajar dari mana dulu nih?”

“Belajar membuka hati.”

“XIAOJUN?!”

Xiaojun tertawa, sementara aku menatapnya kesal secara terpaksa. Sensasinya aneh, aku tidak mengerti.

“Transformasi geometri deh.”

Jika saja dia tidak menaikkan suasana, aku benar-benar melemparnya dengan bungkus cemilan ini.

SiblingWhere stories live. Discover now