2. Flat

386 48 0
                                    

Enjoy and,

Happy reading!





▪︎▪︎▪︎





Bunyi gaduh memaksaku bangun, belum pagi padahal. Tapi kenapa berisik sekali? Giliran aku tertidur nyenyak, mereka sangat berisik. Saat aku bergadang malah sebaliknya.

Gila.

Kenapa aku harus ada diantara kamar orangtuaku dan kak Taeyong. Mereka membuatku frustasi, suara mereka menembus dinding dan mengacaukan moodku.

Samar-samar aku mendengar papa membentak dan mama terdengar garang.

Ah, tubuhku lemas. Tapi pendengaranku sangat tajam.

"Terus kamu maunya apa ma?"

"Aku mau kita cerai!"

Mataku terbelalak, "Cerai?"

Apa semudah itu melepaskan ikatan suci?

Entah ini yang pertama kalinya atau bukan mereka membicarakan tentang perceraian, tapi sungguh ini keterlaluan.

Aku tidak tau latar mereka terus berdebat, tapi setidaknya jangan terlampau jauh. Apa mereka kehilangan akal tentang aku dan kak Taeyong.

"Aku nggak mau tau, kamu harus ceraiin aku!"

Rasa kantukku hilang begitu saja saat wajahku memanas dan airmataku turun. Aku menutup wajahku dan menyeka kasar airmata yang jatuh.

Aku tidak ingin menangis tapi airmatanya terus turun, aku tidak tau harus bagaimana. Sepertinya gagal untuk membohongi diri sendiri.

Terlalu rumit.

Mereka terlalu egois. Aku membenci hal itu. Mereka hanya sibuk dengan perasaan mereka sendiri.

"Sia-sia aja nangisin itu." Aku meyakinkan diri, dan menggigit bibir bawahku agar airmatanya berhenti, namun ternyata aku malah membuat luka. Aku tidak suka aroma darah dan segera mengambil tisu di nakas.

"Kenapasih nggak berenti?"

Tangisanku kini diiringi suara sesenggukan.

Aku menyerah.

Sangat sulit untukku jika sudah menangis, aku tidak yakin besok mataku bisa terbuka sepenuhnya.




▪︎▪︎▪︎



Pukul setengah tujuh pagi rumah sudah sepi saja. Mama dan papa sudah berangkat lima menit lalu. Aku mengintip di balik gorden dan mereka terlihat biasa.

Ah, aku tidak paham.

Seperti dugaanku, mataku membengkak. Tidak terlalu parah rupanya, tapi tetap saja kentara.

Aku berpura-pura menjemur handuk dan mengintip ke arah kak Taeyong yang hampir menyelesaikan sarapannya.

"Ya dikit lagi."

Untunglah kak Taeyong tidak sarapan dengan memainkan ponselnya, dia selalu seperti itu, dia sangat fokus saat makan.

Selesai makan, dia kembali memasuki kamarnya. Menungguku bersiap-siap sekolah.

Jika teman-temanku berpikir aku sangat beruntung mempunyai kakak laki-laki tampan yang mengantarku setiap pagi—rasanya biasa saja, tampan bukanlah segalanya.

Untuk apa punya kakak yang tampan namun sifatnya tidak sebagus paras? Dingin dan sombong.

Hah.

"Aw."

Aku mengerjap cepat, kapas yang mengompres kelopak mataku mengenai mata.

Rasanya perih dan airmataku keluar lagi. Astaga. Ini bukan mengurangi bengkak, bisa-bisa semakin parah.

"Hei, ngapain disitu?"

Aku sontak berbalik, lagi-lagi Ia menatapku datar dari arah tangga.

"Aku harus berangkat agak pagian, mendadak. Cepetan."

"Oh, iya. Bentar."

Aku mengelap pinggiran mata dengan cepat, lalu membuang sisa air hangat di wadah kaca dan membuang kapasnya.

"Sarapan?"

"—ah udahlah."

Aku segera berlari ke atas, merapikan rambutku dan mengambil tas.

Kak Taeyong sudah menunggu di pembatas dan memainkan ponselnya.

"Udah." Kataku saat keluar kamar. Dia hanya menatap datar dan menuruni tangga, sementara aku? Mengoloknya dari belakang dengan ekspresi gila.

Tenang, dia tidak akan tau.




SiblingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang