1. His existence

813 58 0
                                    


▪︎▪︎▪︎

"Kak Taeyong."

"......"

"Kak...."

"....."

"K-"

"Apa?"

"Kakak kenapa nggak pulang ke rumah kemarin?"

"......"

"Kak Taeyong-"

"Nggak usah sibuk sama urusan kakak."

"Ta-tapi aku nggak bisa ngelerai mereka."

"Biarin aja urusan mereka."

"Kok kakak gitu?"

"Terus mau gimana lagi? Apa artinya kalo kakak ngelakuin sesuatu? Nggak akan pengaruh!"

"Kak-"

"Diem, bisa nggak?"


▪︎▪︎▪︎


Aku melangkahkan kaki memasuki area rumah, sesekali aku berbalik ke arah jalan berharap Kak Taeyong akan singgah atau sekadar masuk ke rumah.

Bebarapa hari terakhir Kak Taeyong jarang kembali ke rumah, memang keadaan di rumah sedang kacau—tapi dia memilih menghindar.

Dia tidak tau bahwa cara menghindarnya membuat keadaan semakin keruh.

Bicara padanya saja percuma—aku tidak dihiraukan dan jika aku mencoba berdebat pasti selalu berakhir dengan ucapannya yang dingin.

Harusnya sudah terbiasa, tapi rasanya menjengkelkan.

Dia itu siapa? Kakak harusnya bersikap baik pada adiknya, aku rasa dia adalah saudara laki-laki paling brengsek di dunia dimataku hhh.

Hampa. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disini, cahaya matahari yang condong ke barat menembus melalui ventilasi, suasana menghangat di sekitarku.

Aku harus merapikan rumah sebelum kedua orangtuaku pulang.


▪︎▪︎▪︎

Pukul lima sore, mama pulang dari kantornya. Ia membawakanku banyak sekali makanan dan buah-buahan, tapi aku enggan memakannya—akhir-akhir ini nafsu makanku berkurang, mungkin efek aku sering bergadang.

"Na, kenapa makanannya nggak dimakan."

Aku menoleh ke arah pintu, mama memerhatikanku rupanya.

"Masih kenyang ma." Jawabku singkat dan fokus kembali pada novelku.

"Anna...."

Aku menoleh.

"Tolong suruh kak Taeyong pulang."

Aku berpikir sejenak, mama sedang menghawatirkan kak Taeyong atau mobil yang dibawanya.

"Oh, iya. Aku telponin nanti."

Setelah itu mama menutup pintu dan aku masih melamun. Apa-apaan? Kenapa mama tidak langsung menelponnya.

Ya sudah, aku beralih ke meja belajar dan mengambil sticky notes ku. Mencari nomor kak Taeyong yang aku curi dari ponsel mama.

Curi? Ya, kami memang tidak sekontak. Ia selalu memblokir kontakku di aplikasi media sosialnya.

Ia tidak ingin aku mengganggunya atau entah apa. Dia masih selamat karena aku tidak mengadu.

Aku mengetikkan satu persatu angka di keypad dan menekan tombol panggilan.
Selang beberapa detik. Diangkat. Aku masih diam.

"Halo? Siapa?"

Aku masih diam, aku bisa dengar suara ramai di seberang sana.

"Salah sambung, ya?"

"Ka-kak Taeyong, mama nyuruh kakak pulang."

Giliran kak Taeyong yang diam, lalu dia memutuskan panggilannya.

Hah.

Mungkin dia langsung memblokir nomorku lagi setelah ini.

Masa bodoh. Aku sudah kebal.


︎▪︎▪︎▪︎


Pusing. Satu minggu ini setiap malam aku selalu merasakannya, mau tidak mau aku harus meminum obat secara diam-diam.

Sampai-sampai satu strip aku cadangkan di kamarku agar tidak berjejak di dapur.

Aku tidak ingin diperhatikan kalau nyatanya mereka tidak sadar kalau mereka lah penyebab semuanya.

Sudahlah, aku harus fokus pada diriku saja.

Aku menggenggam erat satu pil dan berjalan diam-diam menuruni tangga. Di deretan kamar ini perdebatan mereka semakin jelas—dan ya mereka membicarakan Lee Taeyong itu.

Persetan dengan itu, saat di bawah aku tidak mendengar apapun dan leluasa menelan pilku dengan gaya. Tidak akan ada yang tau.

Aku rasa aku sudah gila. Atau aku overdosis?

Ah, aku hanya meminum satu pil sehari. Belum dua atau tiga. Lagipula rasanya tidak seenak jelly. Tidak mungkin aku tergila-gila mengonsumsinya.

Saat hendak kembali ke kamar, aku menatap di ujung tangga atas—Kak Taeyong pulang dan melewati kamarku—ya kamarnya ada di sebelah.

Aku sedikit lega. Walaupun sudah pukul sepuluh malam. Setidaknya dia pulang, eksistensinya saja cukup, tidak perlu hal lainnya.





-tbc-

Republish guys 😭👍

SiblingWhere stories live. Discover now