3. Xiaojun

372 53 0
                                    



“Hey, are you okay?”


Aku terperangah saat tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang, bisa-bisanya saat menaiki tangga mengagetkanku. Dasar.

Ofc, lain kali jangan ngagetin.”

“Gapapa kalo jatoh. Biar pangeran Xiaojun yang nangkep, gimana?”

Laki-laki itu mengedip. Brengsek memang. Ya, aku tidak harus terbawa, sudah biasa dengan omong kosongnya itu.

“Masih pagi, aku males debat.”

“Yeu, ngambek ya. Sensi gini biasanya laper nih.”

Xiaojun mengusak rambutku yang sudah rapi dengan pita. Astaga, tekanan darahku akan naik sepertinya.

“Apa-apaan kamu?! Udah deh duluan aja sana!” Aku menarik maskerku turun agar suaraku terdengar jelas untuknya.

Namun dia malah mempoutkan bibirnya dan menggeleng, ditambah dia memakai kacamatanya—aku mendadak meleleh kali ini, ya ini pertama kalinya, woah.

“Xiao—“

“Ntar malem jalan yuk.”

Tolong, ini masih pagi.





▪︎▪︎▪︎




“Kamu udah makan?"

Aku menggeleng.

“Bawa bekal ga?”

Aku menggeleng lagi.

“Ayo ke kantin.”

“Ga usah, Jun. Udah mau masuk.”

Suasana mendadak hening di sekitar kami, kemudian dia beranjak dari kursi di sampingku.

“Aneh banget.”

Selagi menunggu bel, aku menidurkan kepala di atas meja dan menutup wajahku dengan jaket.

“Sarapan dulu.”

Mataku terbuka lebar, sudah ada susu dan roti di depan wajahku saat aku membuka mata.

“Um—makasih.” Kataku tak enak hati, rupanya dia berlari ke minimarket sekolah untuk membelikanku makanan. Sudah sering dia seperti ini, sih.

Xiaojun hanya mengangguk kecil dan tersenyum.

“Aku baru sadar kamu pake kacamata karena mata kamu bengkak. Kenapa?”

Aku menggeleng dan menancapkan sedotan di lingkaran silver di atas kotak susu.

“Kamu bilang percaya aku dibandingin temen cewe kamu.”

Ucapan Xiaojun membuatku terenyuh. Tapi untuk sekarang aku tidak bisa memberitau siapapun sepertinya.

“Aku malu.”

“Kenapa? Kamu dibikin galau sama cowok?”

“Apasih?” Aku menatap garang.

“Ya terus?”

“Aku nonton film, sedih banget ampe gini, malu-maluin aja.”

Lalu aku menunduk. Berharap dia percaya.

“Lain kali ajak aku nontonnya, biar bisa dielapin.” Xiaojun terkekeh pelan.

“Xiaojun, bisa diem? Atau kamu aja yang makan?”

Tawanya lenyap, upaya penyelamatan diriku berhasil.

Mendekati minggu-minggu terakhir sekolah, banyak teman di kelasku menggila. Mereka seakan meluapkan apa yang mereka pendam. Seperti mengakui perasaan dan hal lain. Aku harap tidak menjadi salah satunya.



▪︎▪︎▪︎



Saat keluar gerbang, aku sudah lihat mobil yang dikendarai kak Taeyong terparkir di sisi trotoar. Aku segera berlari dan melambai pada Xiaojun.

“Jangan lupa ya!” kata Xiaojun.

Tanpa mengangguk, aku membuka pintu mobil.

“Maaf kalo lama.”

Kak Taeyong tak menggubris dan menyalakan mobil. Rasanya seperti berada di kutub es, malah sifatnya melebihi dinginnya es.

Sebelum sampai rumah, hujan turun disertai angin kencang, aku harap dia akan di rumah hari ini, tidak berkeliaran lagi.

Sesuai harapan, dia menuju garasi samping. Semoga saja dia tidak kemana-mana bahkan setelah ini.

Aku takut.

Eksistensinya saja sudah cukup.

SiblingWhere stories live. Discover now