9. cabut

196 169 102
                                    

Tingg!

Cowok bertubuh tinggi itu seketika menghentikan aktifitasnya saat benda pipih itu mendentingkan notifikasi berupa pesan masuk. Kafka langsung membacanya, namun yang tertulis adalah nomor tidak dikenal. Sebenarnya Kafka tipe orang yang malas membalas pesan dari nomor tidak dikenal seperti ini.

085×× ××× ×××
Gue butuh bantuan lo.

Dalam pikirannya ia membayangkan mungkin saja ada orang iseng, atau bisa saja ponselnya diretas oleh pihak tidak bertanggung jawab. Tetapi kali ini isi pesannya berbeda, dengan berat hati dan sisa pulsa seribu rupiah Kafka membalas pesan tersebut.

Ia mengelap tangannya terlebih dulu sebelum mengetik pesan balasan.

Sorry, ini siapa?

Tidak butuh waktu lama pesannya mendapatkan balasan.

085×× ××× ×××
Gue, Zeta

Seketika mata Kafka membulat saat tahu siapa yang menghubunginya kali ini. Detik berikutnya wanita itu mengirim sebuat alamat yang letaknya tidak terlalu jauh dari kedai kopi tempat Kafka bekerja. Kafka melepas epron dan berusaha meminta izin untuk keluar sebentar pada owner yang merangkap menjadi sahabatnya.

Dengan mengendarai si Blakcy, Kafka pergi menuju tempat yang tadi dishare oleh Zeta. Lengkap dengan jaket kulit hutam yang masih ia kenakan, juga kaos putih polos, Kafka beradu cepat menembus waktu. Membelah jalanan ibu kota dengan gagahnya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


°°○°°

Ditempat yang berbeda Zeta sedang berharap cemas, khawatir Kafka tidak sampai tepat waktu. Ia terus mengepalkan tangannya yang agak basah karena berkeringat.

Mereka duduk disebuah ruangan VIP dengan meja makan panjang yang terlihat sangat tertata rapih. Ruangan berkonsep klasik namun tetap menonjolkan sisi kemewahannya tersendiri. Zeta tampak gugup meskipun ini bukan pertama kalinya ia mendatangi jamuan makan malam.

Dari kejauhan terlihat seorang wanita cantik seumur Violyn ditemani dengan seorang pria seusia Toni sedang berjalan menuju meja yang Zeta tempati. Kedua orangtuanya m

enyambut hangat kedatangan kedua orang itu.

"Hai, udah lama nunggu ya? Sorry tadi macet." Ucap wanita itu sambil bersalaman dengan Violyn.

"Enggak kok, baru aja kita sampai." Ucap Violyn lembut.

Halah bulshit, batin Zeta.

"Ini yang namanya Zeta?" Wanita itu menatap Zeta dengan pandangan kagum, seolah Zeta adalah perempuan paling cantik yang pernah ia temui.

Katakanlah Zeta minim ekspresi, ia hanya menampilkan wajah datar karena bingung harus menampilkan raut wajah seperti apa.

"I--iya saya Zeta." Ucapnya sedikit terbata.

ZetanaWhere stories live. Discover now