Bagian 1

102 19 19
                                    

'Mungkin aku takut menyukainya, takut melewati garis yang telah aku buat sendiri'-Amira Azzahra

***

Suara berdecit mengiringi suara pantulan bola. Lantai yang mengkilat itu seolah beradu dengan mengkilatnya lengan para pemain akibat keringat.

"A-N-G-K-A-S-A. Fire SMA Angkasa!" Pemandu sorak pun tak mau kalah memeriahkan studion.

"Kalahkan Angkasa! Kalahkan Angkasa!"

"Kedudukan seri dengan skor 93-93." Suara inilah yang paling diperhatikan oleh para pendengar radio. Pertandingan ini begitu sengit. Ini sudah babak terakhir dan poin masih seri, padahal waktu tinggal beberapa menit lagi.

"Fire SMA Angkasa! You Can! You're the best!" Kali ini pemandu sorak SMA Angkasa mengangkat pompom setinggi-tingginya. Mereka tidak mau mengurangi semangat pemain basket dengan teriakan negatif dari pemandu sorak SMA Pertiwi.

Bola orange itu kini berada dikekuasaan SMA Angkasa. Johan melambaikan tangannya pada Sang kapten, Afgan. Hanya dia yang kosong sekarang, tetapi Afgan tak langsung mengoper bola. Padahal posisi Johan juga lebih dekat dari ring. Afgan hanya memantul-mantulkan bola dengan sesekali melirik ke kanan dan kiri tanpa mengurangi kewaspadaan pada lawan di hadapannya.

Waktu tinggal 1 menit lagi.

Setelah berpikir selama 5 detik, Afgan memegang bola basket dengan kedua tangannya. Pandangannya fokus ke ring. TAP! Dia melempar bola ke ring seraya melompat. Bola melambung melewati kepala lawan di hadapannya.

KRIIIINGGG....

"Time is oveeer! Sungguh mendebarkan di detik-detik terakhir bola itu berhasil masuk ke ring. Selamaat untuk SMA Angkasa. The best untuk sang kapten yang berhasil membawa timnya menjadi juara."

Semua penonton bersorak dengan riang.

"The best SMA Angkasa. The best Afgan! Huooooo..." Kedelapan tim pemandu sorak berlari ke tengah lapangan.

"Girls, it's show time!" teriak kapten Cheers, Gladis. Musik pun beat pun mengalun.

Dengan kebahagiaan, pemandu sorak memperlihatkan keahliaannya. Mereka bergerak seraya menyorakkan tim basket SMA mereka.

"Prep and Elevator!" teriak Dona, membuat anggotanya berubah posisi. Amira kini telah berada di puncak dengan kakinya dipegangi oleh ketiga temannya dengan salah satu temannya memegang bagian belakang.

"Aaa!" teriak Amira dengan lantang, lalu melompat dan memutar badannya ke belakang, tepat ditangkapan ke empat temannya yang lain. Sedetik kemudian, Amira sudah berdiri di tanah lagi dengan kedua tangan yang memegang pompom terangkat.

"SMA Angkasa bisa!" teriaknya yang diikuti oleh ketujuh orang lainnya seraya membentuk formasi A.

Terakhir, mereka berteriak secara bersamaan "JUARA!"

***

Amira menggesek-gesekkan kakinya yang mengenakan sepatu pantofel ke tanah. Tangannya dimasukkan di dalam jaket, kepalanya tertunduk. Sebagai pemandu sorak tim basket SMA Angkasa, tidak sepantasnya dia berwajah murung seperti itu.

"Amira, duluan ya!" seru teman-teman cheersnya begitu keluar dari dalam gedung. Mereka sudah paham kalau Amira selalu menunggu pacarnya setelah pertandingan.

"Okey!" Amira membalas lambaian tangan mereka dengan senyuman tipis.

Tak berapa lama kepergian teman-temannya, seorang pemuda berdiri di belakang Amira tanpa suara. Dia menahan tawanya sejenak.

Love Like GrenadeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt