Bagian 7

14 3 0
                                    

"Entah apa yang harus aku lakukan tanpamu. Aku sendirian di tempat menyedihkan ini." -Brian Rahmansyah

***

Afgan menggenggam tangan Brian sejak tadi. Syukurlah saat Brian terjatuh, sudah ada matras besar di bawah sehingga Brian selamat. Sekarang dia tertidur karna telah disuntik obat penenang.

"Maaf, kamu harus melihat ini lagi," ujar Afgan seraya menatap Amira yang berdiri agak jauh di belakangnya. Amira tidak ingin berdekatan dengan Brian. Bukan karena pemuda itu sekarang tercatat sebagai pasien rumah sakit jiwa, melainkan karena masa lalu yang pernah dibuatnya.

Amira diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bahkan dia sendiri tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap pemuda yang terbaring itu. 

Sejak tiga tahun yang lalu, pemuda itu terlihat begitu kacau, frustasi, seolah tidak memiliki semangat hidup.

"Ah, ayo aku antar kamu pulang," ajak Afgan yang membuat Amira terkesiap karena dia melamun tadi.

"Hmm." Amira hanya bergumam untuk menjawabnya.

***

Brian terbangun setelah efek obatnya habis. Tatapannya nanar. Di telinganya terngiang berkali-kali suara Amira yang memanggil 'Reihana Reina'. Tiba-tiba air matanya menetes sendiri. Lima menit dia tak bergeming, tiba-tiba dia bangun dari ranjangnya. Membuka lemari lalu mengganti pakaian rumah sakitnya dengan pakaiannya sendiri. Celana jins, kaos hitam, dan kemeja kotak-kotak navy. Tatapan nanarnya sudah hilang. Ada sedikit semangat dalam tatapannya itu.

Dia keluar dari rumah sakit tanpa ketahuan. Tentu saja, setiap dia melihat dokter atau perawat, dia selalu bersembunyi. Bahkan dia tidak melewati gerbang utama, melainkan gerbang belakang.

Kali ini dia cukup sadar untuk tidak naik kendaraan umum, karena dia tak membawa uang sepeser pun.

Kakinya melangkah jauh dari rumah sakit.

***

Afgan baru saja selesai mandi. Handuk kecil yang digunakan untuk mengelap rambutnya yang basah kini disampirkan di lehernya. Tangannya meraih HP di meja belajarnya. Jarinya berhenti bergerak saat layar menunjukkan kontak bertuliskan 'Papa'. Dia seolah ragu untuk menelpon pria yang seperti telah menelantarkan anak-anaknya.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kamar sebelah, kamarnya Brian. Untung Afgan sudah berpakaian sejak tadi. Dia melempar handuknya asal, lalu berjalan mendekati kamar Brian. Apa ada pencuri?

"Bang Brian?" heran Afgan saat melihat Brian ada di kamarnya sendiri. Bagaimana bisa?

Brian menoleh sekilas, lalu dia melanjutkan aktivitasnya membongkar kamarnya sendiri.

"Ngapain, Bang?" Afgan melangkah masuk seraya mengamati kamar Brian yang sudah amburadul. Barang-barang berserakan di lantai.

"Bang!" Afgan menepuk pundak Brian karena tak ada jawaban darinya.

Brian berhenti sejenak. Tanpa berpaling, dia lanjut mengobrak-abrik lacinya.

"Bang Brian!" Kali ini Afgan mengeraskan suaranya. Tangannya juga mencengkeram pundak Brian agar menghadapnya.

Brian justru memberikan tatapan tidak sukanya, membuat Afgan sedikit takut. Bagaimana pun, saudara sedarahnya ini adalah pasien rumah sakit jiwa. Afgan mengendurkan cengkeramannya, membuat Brian melanjutkan aktivitasnya. Kali ini Afgan hanya mengamati, bersiap jika Brian melakukan hal aneh.

"Aargg!" Brian mengacak rambutnya frustasi karena tidak menemuman benda yang dicarinya.
"Di mana cincin itu?" tanya Brian.

"Cincin apa?" tanya Afgan balik, karena tidak mengerti.

"Cincin itu!" Nada suara Brian meninggi. "Cincin yang seharusnya menjadi milik Reina." Nada suaranya sudah menurun, tapi tatapan nyalangnya tidak berubah.

"Untuk apa?" tanya Afgan seraya mendekati Brian. "Bang Bri gak butuh cincin itu lagi," ujar Afgan seraya memegang kedua pundak Brian.

Brian langsung menepis tangan Afgan begitu mendengar ucapannya. Dia lalu pergi.

"Mau ke mana, Bang?" teriak Afgan saat Brian keluar kamar.

***

Afgan mengemudikan mobil dengan Brian berada di sebelahnya. Terlihat tatapan nyalang Brian sudah melembut. 

Mobil melaju ke rumah sakit jiwa. Bukan Afgan yang mau, Brianlah yang meminta.
Setibanya di rumah sakit, Afgan buru-buru mengikuti Brian yang tanpa kata langsung keluar mobil. Afgan terkejut saat Brian memencet tombol lift di lantai 7, lantai paling atas sebelum atap gedung.

Merasa pertanyaannya nanti tak ada jawaban seperti tadi, Afgan memilih diam dan mengikuti saja Brian yang sekarang sudah berada di atap gedung. Selama di lift, Afgan mengirim chat ke pihak rumah sakit untuk berjaga-jaga kalau kemungkinan kejadian tadi akan terjadi lagi.
Setiba di rumah sakit, mereka berada di atap gedung. Afgan memerhatikan Brian dengan perasaan was-was, dengan tetap bersiaga jika Brian nekad.

Afgan semakin ketar-ketir saat Brian mendekat ke ujung gedung setelah berkeliling mencari sesuatu. Tentu saja dia mencari cincin itu. yang tidak ditemukannya.

Lalu, terdengar embusan napas berat dari Brian. Kepalanya yang tertunduk diangkatnya. Ditatap langit yang mulai menggelap.

"Ayo, pulang, Afgan," ajak Brian pada Afgan. Ya, pada Afgan. Brian menatap Afgan. Dengan lembut mengatakan ajakan itu. Afgan terharu mendengarnya. Setelah sekian lama, akhirnya abangnya itu menyebut namanya lagi. Apakah artinya Brian sudah sembuh?

***

Kamar rumah sakit. Rupanya yang dimaksud Brian pulang adalah kembali ke kamar rawatnya. Mungkinkah karena terlalu lama berada di sini membuat Brian menganggap bahwa kamar rawat ini adalah rumahnya?

Afgan menyelimuti Brian yang sudah terbaring di ranjangnya, ranjang rumah sakit. Afgan menepuk pundak Brian yang mulai memejamkan matanya.

"Semoga Bang Brian cepet sembuh," doanya tulus. Kemudian dia mengambil remot AC untuk mengatur suhu ruangan. Ketika dia hendak pergi, suara Brian menghentikannya.

"Bisa lo ketemukan gue sama cewek yang pernah lo bawa kemari?" pinta Brian tanpa mengubah posisi tidurnya yang berbaring membelakangi Afgan.

Afgan berpikir sejenak, hendak menanyakan kenapa tiba-tiba Brian minta ketemu sama Amira. Namun, Afgan mengenyahkan pikiran itu. Dia terlalu senang, kini abangnya itu mau mengajaknya bicara.

"Tentu bisa. Besok gue ajak dia ke sini."

***

Amira masuk ke dalam kamar kakaknya yang sudah tidak pernah dia masuki semenjak kakaknya meninggal. Diamati seluruh isi ruangan yang masih sama seperti dulu sebelum yang empunya meninggal.

Tangannya meraih sebuah bingkai foto yang terdapat foto Reina bersama dengan kekasihnya, Brian. Di dalam foto tersebut mereka terlihat sangat bahagia.

Amira mengelap sudut matanya yang mulai berair.

"Haruskah aku berhenti membenci Brian?" gumam Amira. Dia teringat betapa menderitanya Brian yang sudah kehilangan pikiran warasnya. Lelaki itu terkadang ingin sekali menyusul Reina. Bahkan Amira melihat ada beberapa sayatan di pergelangan tangan lelaki itu saat Brian tertidur tadi.

***

~ Bersambung ~


Gak tau masih ada yang simpan ini di perpust-nya apa gak. Wkwk ... Efek kelamaan ngegantung, jadi klw ditinggalin gak boleh mewek kan yee ....

Gara-gara muncul ide cerita baru, dan ternyata lebih banyak pembacanya, jadi anakku yang ini terbengkalai. Hiks ... Maafkan emakmu, Nak. Sekarang emak datang mau besarin kamu.

Sebagai awalan baru, aku udah kasi baju baru tuh, Nak (cover baru).

Makasih banyak lho cover buatan @Chanchen55 . Semoga ini jadi penyamangatku untuk lanjut cerita ini sampai tamat.

Love Like GrenadeWhere stories live. Discover now