PART 17 : TERSERAH

Start from the beginning
                                    

Late terlonjak di tempatnya. Mampus kok si cewek ninja denger? Sontak ia bergeser lalu duduk menyebelahi Supriyadi untuk meminta penjelasan.

"Mas, kok dia denger suara saya?" bisik Late. Heran karena biasanya ketika di dalam lift, ia tidak bisa menangkap suara dari luar.

"Pintunya nggak ketutup rapet, Mas. Tadi saya congkel, jadi kebuka dikit," jelas Supriyadi yang masih fokus mengutak-atik pintu lift bersama rekannya.

Late menempelkan wajahnya ke pintu lift. Memicing, lalu menutup sebelah matanya.

Ah, percuma. Suaranya memang mampu menembus pintu lift, tapi tatapannya seperti terhalang sesuatu. Gelap.

"Lo masih napas kan, Van?" tanya Late setengah berteriak.

Dengan memancing amarah Vanila, ia bisa memastikan jika di dalam lift gadis itu baik-baik saja. "Lo ada temennya nggak, sih? Oh iya lupa. Tadi kan lo minta gue tinggalin sendirian."

"Mbak, ini cowoknya tolong disuruh tenang, ya. Kita jadi nggak bisa kerja kalo dia berisik!" teriak teknisi lain yang bekerja di samping Supriyadi. Merasa terusik mendengar Late yang tak berhenti mengoceh.

"Idihhhhh, bukan cowok saya, Mas!" pekik Vanila sambil bergidik. "Dia itu sumber masalah dari segala keapesan yang saya alami, Mas. Termasuk sekarang ini.. Saya kejebak di dalem lift juga gara-gara dia, Mas."

"Mbak, nggak boleh lo menjadikan orang lain kambing hitam." Teman Supriyadi, yaitu Riko, ikut menyeletuk.

Sadar tak ada gunanya terus merutuk, Vanila menghela napas panjang.

Percuma ngamuk-ngamuk sampe mulut gue berbusa. Nggak ada yang tahu kalo emang Si Late yang selalu bikin gue apes karena sumpah gue mental.

"He, cewek ninja. Lo tahan bentar lagi, ya. Tarik napas, keluarin.. Tarik napas panjang-panjang, keluarin," ucap Late yang malah mempraktekkannya sendiri.

Cowok itu tampak benar-benar cemas, bukan cuma pencintraan. Tangannya yang mengetuk-ngetuk pintu lift mengepal erat.

"Oh iya! Masker lo copot dulu aja biar nggak makin sesek." Baru sedetik menutup mulut, Late mengoceh lagi.

"Setdaaah! Lat, Lalat! Lo berisik amat, sih. Diem dulu bisa, nggak?" Vanila menanggapi dengan santai.

Di dalam lift, ia hanya bisa duduk bersila sambil menopang dagu. Dan mendengar suara Late yang cemas seperti itu, membuat Vanila jadi ikut was-was.

Sampai kapan gue di dalem sini?

"Lo nggak pingsan, kan?" Late jadi tak bisa tenang karena Vanila mendadak diam lagi. "Woy, Van!"

"Hihhhh, apaan sih, Lat? Lo mending sekarang duduk anteng, dengerin gue mau ngomong sesuatu. PENTING!" Vanila mencoba membujuk dengan cara lain. "Udah duduk belom?"

Meski Vanila tidak melihatnya, kepala Late terangguk otomatis. Jadi sekarang posisi keduanya sebenarnya berhadap-hadapan seandainya lift tidak menjadi penghalang.

Late mendesah lemah. "Iya, udah. Lo mau ngomong apa?"

"Gue mau ngomong serius, nih. Dengerin baik-baik, ya." Vanila melipat kedua tangannya di depan dada. Ia mulai merasa sesak dan kepanasan, tapi ditahan agar suaranya tetap terdengar normal.

"Jadi gue mau tanya sesuatu." Sengaja, Vanila berhenti sejenak untuk membuat Late penasaran.

Sambil mengerutkan dahinya, Late memicing. "Apa?"

"Bedak sama maskaranya si Tesa merknya apa, Lat?" tanya Vanila langsung terkikik. "Masa kena air hujan aja langsung luntur. BHAHAHAHAHA." Tawa gadis itu menggelegar.

VaniLate (SELESAI)Where stories live. Discover now