Part 16

1K 132 5
                                    

Aku masih terdiam di ruang kelas. Tubuhku terasa bergetar. Seluruh persendian seolah berguncang. Air mataku mengalir tak mampu kuhentikan.

"Rumi menitipkan surat ini. Tapi, harus segera dibakar setelah selesai dibaca!" Pak Iman mengulurkan tangannya.

Kuraih lipatan kertas itu dengan hati-hati. Pikiranku melayang entah kemana. Sungguh aneh, tidak biasanya Rumi meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan misi. Kecuali, jika kondisinya sudah sangat berbahaya.

'Apa yang terjadi padanya? Di mana Rumi berada?'

Pikiranku masih berputar-putar. Membayangkan segala hal tentang Rumi.

"Bu Allena, saya permisi!" Pak Iman berbalik arah lalu meninggalkanku seorang diri.

Aku terperangah. Belum sempat kubalas kalimatnya, Pak Iman telah pergi menjauh. Semakin jauh hingga hilang dari pandangan.

Aku segera berbalik arah, meraih kursi lalu duduk di pojokan. Dengan gemetar, kubuka surat ditanganku.

'Allena, bagaimana kabarmu? Kuharap kau selalu dalam perlindungan Allah. Aku pun baik-baik saja, percayalah.

Saat ini, aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Melanjutkan perjuangan bersamaku, di jalan mendaki lagi sukar, atau kau berbalik arah dan hidup di jalan yang lebih mudah?

Aku serahkan jawabannya padamu. Semua pilihan pasti ada tantangannya. Tapi, jika kau memilih berjuang bersamaku, kau harus mengikuti komando Pak Iman. Kita sedang bersama-sama membangun sebuah rumah yang  bercahaya, untuk menandingi rumah yang gelap gulita.

Hal pertama yang harus kita bangun adalah pondasi iman. Maka, kukirimkan Pak Iman untuk membantumu. Ya, namanya adalah kode rahasia kita. Kuharap, sekarang kau tidak lagi membencinya.

Allena, kuyakin kau akan memilih perjuangan ini. Maka, bersiaplah untuk lelah, bahkan mungkin harus berdarah-darah.'

Tubuhku semakin gemetar. Kulipat surat dari Rumi dengan buru-buru. Langkahku dengan cepat menuju halaman belakang sekolah. Di sana, petugas kebersihan sedang membakar sampah-sampah kertas.

"Dik?"

Mataku membulat. Langkahku terasa sangat kaku. Kuremas kertas di tanganku dengan kuat.

"Belum pulang, Dik? Sedang apa di sini?" Pak Alex berjalan mendekat.

Aku menoleh dengan cepat. "Oh, hanya mau membuang sampah."

Pak Alex semakin mendekat hingga hanya beberapa meter di sampingku. "Sini kertasnya, Mas saja yang buang. Kasihan, nanti Dik kepanasan."

Jantungku berdetak lebih cepat. Pikiranku seperti melayang. 'Apa yang harus kulakukan sekarang?'

"Dik, ada apa?" Pak Alex menatapku dengan heran.

Aku berusaha memalingkan pandangan. "Tak perlu, Mas. Saya saja yang membuangnya."

Aku melangkah dengan cepat lalu melemparkan kertas itu ke arah lubang sampah. Tanpa kusangka, kertas itu tergelincir lalu tersangkut di atas tanaman.

"Mas saja yang mengambilnya, Dik!" Pak Alex berjalan dengan cepat.

Mataku membulat. Kuusap keringat yang telah membasahi dahi. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.

"Ini kertasnya, Dik!" Pak Alex memperhatikan kertas itu dengan hati-hati.

Kepalaku menunduk. 'Sepertinya aku telah menghancurkan semua rencanamu, Rum.'

"Pak Alex, tadi saya ke rumah bapak tapi tidak ada." Pak Iman tiba-tiba muncul dengan senyum bahagia.

Aku pun bernapas lega. Kulihat Pak Alex melempar kertas itu ke dalam kobaran api. Lalu menghampiri Pak Iman. Mereka berbincang dengan sangat akrab. Kalau saja aku belum membaca surat dari Rumi, aku pasti membenci Pak Iman.

***

Langit sudah mulai menguning. Tandanya, senja akan segera datang. Aku sangat menyukai suasana seperti ini. Menatap langit dengan tenang dari balik jendela.

Kuhirup wangi teh dalam cangkir yang semakin menenangkan. Kerudung biruku berayun, diterpa semilir angin.

Tiba-tiba, aku teringat dengan isi surat Rumi. Sahabat yang kini terpisah jarak. Ia tidak pernah berubah, selalu memberikan pilihan tapi dirinya sendiri yang memutuskan.

Seperti hari itu, ketika kami baru lulus SMA.

"Allena! Ayo pilih, menjadi orang yang terkenal di dunia atau terkenal di surga? Kalau kau ingin terkenal di dunia, gampang saja. Kau tinggal menikah dengan Bos Emas atau Tuan Tanah setelah ini. Kau pasti dikenal oleh warga satu kampung. Seperti teman-teman kita yang tidak mau melanjutkan sekolah. Tapi, kalau mau dikenal di surga, kau harus susah payah dulu menuntut ilmu. Karena orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalan ke surga. Jadi, lebih baik kita melanjutkan sekolah, lalu mendapat ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat."

Aku selalu tersenyum saat mengenang kata-kata Rumi. Ia selalu berpikir dengan jernih dan berbeda dengan teman seusianya.

Tiba-tiba, mataku terbelalak. Kulihat Samsul menatapku dari kejauhan. Aku segera menutup jendela dan berlari ke pojokan kamar.

Bayangan wajah Samsul hari itu masih selalu menghantui. Wajahnya tiba-tiba menjadi sangat menyeramkan. Aku tidak pernah menyangka ia akan sekejam itu padaku. Bekas ikatan tali masih membekas pada kaki dan tanganku.

"Nak, ini ada Nak Samsul mau bertemu." Ibu mengetuk pintu berulang kali.

Tubuhku semakin menggigil. Aku tidak bergerak sedikit pun. Semua bayangan menyeramkan bermunculan di benakku.

"Nak? Ini kasihan Nak Samsul, sepertinya penting." Ibu kembali membujukku.

Kudekap lutut dengan kuat. Mataku sudah mulai berembun. Tiba-tiba kalimat Rumi seperti terngiang kembali. 'Allena, kuyakin kau akan memilih perjuangan ini. Maka, bersiaplah untuk lelah, bahkan mungkin harus berdarah-darah.'

Kucoba bangkit lalu menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah menuju pintu kamar. Berulang kali, kuembuskan napas dengan berat.

Perlahan, kubuka pintu kamar. Ibu menyambutku dengan senyuman. Aku pun berusaha membalas senyum Ibu.

Dadaku semakin berdebar ketika langkahku sampai di ruang tamu. Kulihat, Samsul tersenyum penuh arti.

"Allena, kita akan kembali menggerakkan pemuda di sini untuk pengajian rutin seperti dulu. Kegiatan pertama kita akan berkemah. Aku harap, Allena mau ikut untuk mengerakkan remaja perempuannya."

Aku terperangah. 'Siasat apalagi ini, Samsul?'

Tiba-tiba, Ibu mengusap pundakku. "Wah, bagus itu, Nak Samsul. Ibu dan Ayah mengizinkan."

Samsul tersenyum dengan bahagia. "Alhamdulillah, terima kasih, Bu."

Tiba-tiba, kepalaku terasa berat. Semuanya seperti berputar.

***

The Dark VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang