Part 10

1.2K 133 21
                                    

Aku mengaduk secangkir teh dengan pelan. Pikiranku sibuk membayangkan nasib Samsul setelah hari itu. Pak Alex pasti bertindak sesuka hati untuk membalas perbuatan Samsul.

Ah, mengapa harus Samsul yang menolongku. Pemuda itu yang sejak dulu sering mengungkapkan perasaannya. Tapi, aku selalu menjauhinya. Bahkan, Samsul hampir putus asa ketika aku memilih untuk kuliah setelah lulus sekolah.

"Allena, benarkah kau akan kuliah?" ucap Samsul dengan tubuh gemetar.

"Iya, Sam! Aku dan Rumi akan kuliah. Aku mendukung cita-cita Rumi untuk memutus rantai kebodohan di desa ini. Termasuk mematahkan pendapat masyarakat kalau perempuan tidak perlu sekolah tinggi."

Samsul menunduk. Ia terdiam cukup lama.

"Hilang sudah harapanku untuk menikah denganmu, Allena."

Aku menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu, Sam?"

"Kita akan berbeda kasta. Mana mungkin seorang sarjana mau menikah dengan lulusan SMA." Samsul menghela napas.

Kepalaku menggeleng. "Selama ini aku menjauhimu bukan karena alasan itu, Sam! Tapi, karena caramu yang salah!"

Samsul terperangah. "Apa salahku, Allena?"

"Karena kau mencintaiku sebelum resmi menikah. Bukankah itu perbuatan mendekati zina?"

Samsul tersentak. Lalu berkali-kali meminta maaf. Sejak saat itu, Samsul merantau ke desa sebrang. Ia mendalami ilmu agama pada seorang guru. Kemudian kembali ke desa ini dengan pribadi yang baru.

Samsul menggerakkan remaja di desa ini untuk solat berjama'ah di masjid. Setiap malam minggu, Samsul mengisi pengajian remaja. Desa ini terasa sangat damai. Para remaja lebih sering datang ke masjid daripada nongkrong di pinggir jalan.

Rumi sangat mendukung kegiatan Samsul walau dari jarak yang jauh. Rumi sering mengirim buku dari kota untuk remaja di desa ini. Aku pun berusaha membantu Samsul mengajar anak-anak mengaji setelah magrib.

Tapi, suatu malam, Samsul menghilang. Tidak seorang pun yang mampu menemukannya. Semua orang sangat merasa kehilangan. Hingga, paginya ia ditemukan tidak berdaya di tengah hutan.

Semenjak itu, Samsul sering mengurung diri. Wajahnya selalu terlihat pucat. Butuh waktu berbulan-bulan sampai ia pulih kembali. Tapi, bukan sebagai Samsul yang dulu. Ia sering nongkrong di jalanan dan akhirnya menjadi penambang liar hingga kini.

"Nak! Kenapa melamun?"

Aku terperangah. "Oh, Ibu! Allena jadi kaget."

"Ada apa, Nak? Teh manisnya jadi dingin begitu. Sejak tadi hanya diaduk-aduk saja."

"Oh, tidak ada apa-apa kok, Bu." Aku pun tersenyum malu.

***

Subuh ini, aku berjalan mengendap-endap ke gubuk Samsul. Aku hanya ingin memastikan ia baik-baik saja. Bagaimanpun, ia telah mengorbankan dirinya untuk menolongku dari siasat Pak Alex.

Aku berjalan jinjit ketika sampai di pintu gubuk. Tidak terlihat seorang pun di dalam gubuk. Suasananya sangat sepi. Padahal, biasanya setiap subuh tabung pengolahan emas itu selalu berputar. Suaranya sangat nyaring hingga terdengar dari jarak jauh.

"Kau mencari Samsul?"

Tubuhku mendadak kaku. Pelan-pelan aku membalikkan badan. Seorang laki-laki paruh baya menatapku dengan curiga.

"Oh, iya Pak. Saya temannya," ucapku hampir terbata-bata.

Laki-laki itu mendekat. "Samsul tidak bekerja di sini lagi. Sekarang, kau boleh pergi!"

The Dark VillageWhere stories live. Discover now