Part 2

2K 177 19
                                    

Aku melangkah pelan-pelan, memastikan pintu dan jendela telah tertutup rapat. Kudekatkan mata pada celah kecil di dekat jendela. Aku melihat beberapa warga masih bejaga-jaga di ujung desa.

Aku membalikkan badan. Tertegun cukup lama. Menatap tubuh ringkih Rumi yang terbaring lemah di ranjangku.

Aku pun mengambil selimut, lalu merebahkan badan di samping Rumi.

"Allena?" bisik Rumi.

Aku menoleh. "Kau belum tidur, Rum?"

Kepalanya menggelang. Matanya menerawang, menatap langit-langit.

"Allena, kau tahu apa yang terjadi padaku di tengah hutan malam itu?"

"Tidak, Rum." Bisikku, hampir tidak terdengar.

"Malam itu, aku sangat dekat dengan maut."

Mata Rumi berkaca-kaca. Napasnya terengah.

"Aku harus berhadapan dengan tiga laki-laki dengan senjata lengkap. Mereka membawa belati, parang dan senapan. Seperti sedang berburu."

Rumi terdiam beberapa saat.

"Mereka hampir menghabisiku malam itu. Mereka murka karena aku tidak mau mengatakan dimana dokumen desa disimpan."

Rumi menghela napas. "Tapi, Allah menolongku, dengan memberikan kekuatan yang tidak bisa diraba oleh nalar."

Aku menatap Rumi. "Benarkah?"

"Aku bisa mengalahkan mereka bertiga, Allena. Mereka tiba-tiba ambruk. Padahal, aku hanya mengamuk sekuat tenaga. Mereka pun lari, meninggalkanku sendirian di tengah hutan."

Mataku berembun. Sekujur tubuhku merinding. Allah selalu menolong orang-orang yang berada dalam kebenaran.

"Aku menjerit malam itu. Meraung-raung seperti orang kesurupan. Sungguh, aku malu pada Allah. Allah telah memberikan kesempatan kedua kepadaku untuk hidup. Walau dosa-dosaku seperti buih di lautan."

Rumi mengusap pipinya yang basah.

"Entah berapa lama aku masih terisak. Hingga sebuah tangan menepuk pundakku."

Dadaku berdebar. "Siapa itu? Apakah Pak Lurah?"

Rumi menggeleng. "Pak Bahar, pemilik kebun jagung yang sedang menginap di gubuknya. Ternyata beliau mendengar tangisanku."

"Jadi, Pak Bahar yang mengantarmu pulang?"

"Iya. Aku sangat mengkhawatirkan keselamatannya sekarang."

Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk berulang kali.

Aku terperangah. "Siapa?"

"Ibu, Nak!"

Dadaku berdebar. Menatap Rumi yang pelan-pelan masuk ke dalam kolong ranjang.

Aku membuka pintu separuh. Lalu menyembulkan kepala ke luar.

"Ada apa, Bu?" Aku pura-pura mengucek mata.

"Ibu dan Ayah mau pergi ngelayat ke rumah Pak Bahar. Tadi Ayah dijemput tetangga, diminta ngurus jenazah Pak Bahar. Mau di rumah saja atau mau ikut?"

Mataku membulat. "Pak Bahar meninggal?"

Ibu mengangguk. "Iya, tadi katanya ditemukan sudah meninggal di kebunnya. Sepertinya dipatuk ular. Mulutnya berbusa dan kulitnya menjadi biru."

Aku bergidik. "Allena di rumah saja ya, Bu. Soalnya sebentar lagi azan subuh."

"Ya sudah, tapi jangan lupa kunci semua pintu dan jendela ya! Si Rumi belum ditemukan sampai saat ini."

The Dark VillageWhere stories live. Discover now