@Chapter 1.

3.5K 206 4
                                    

Lee Chaeyeon mengusap dahinya. Setetes keringat yang lolos dari sapuan tangannya jatuh pada paha. Jam-jam ini terasa melelahkan, namun Chaeyeon tak pernah berpikir ingin segera mengakhirinya. Gerakan tarinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Sebelum kecelakaan itu membuatnya berdiam diri selama tiga bulan penuh. Tangan kirinya masih saja terasa nyeri meskipun sudah di nyatakan sembuh. Sepertinya patah tulang memang bukan masalah sepele bagi tubuh manusia. Chaeyeon ingin mengutuk nasib, tapi nasib selalu tak bisa di salahkan. Dia ingin mengutuk orang yang menyebabkannya jatuh dari tangga itu, tapi sekali lagi dia juga tidak salah sepenuhnya. Lelah memikirkan siapa yang harus di salahkan, Chaeyeon pun akhirnya berdiri lagi. Menyesali yang sudah terjadi tak pernah membuatnya kembali seperti semula. Chaeyeon kembali melanjutkan tarinya dan kali ini dengan musik yang bertempo lebih cepat. Dia seperti ingin menghukum dirinya sendiri karena tak bisa ikut bergabung membela tim tarinya ketika lomba. Hasil yang sudah pasti pun terjadi. Timnya kalah, dan ia merasa bersalah.

~~~

Chaeyeon mengakhiri latihannya ketika matahari sudah hampir habis di telan langit barat. Ia menyeka lagi tubuhnya yang basah penuh keringat. Ia keluar dari studio tari sekolahnya setelah memakai jaket untuk menutupi kaosnya yang sudah basah. Setelah mengunci pintu, Chaeyeon berjalan melalui koridor yang seharusnya sudah sepi. Tetapi ketika ia lewat di sebuah kelas, ada seorang siswi sedang berkutat dengan buku. Ia terlihat mencatat sesuatu dari buku yang lain. Chaeyeon tidak tahu siapa itu, namun ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat dan waktu yang lain. Tak mengambil pikir panjang tentang siswi itu, Chaeyeon melanjutkan langkahnya. Angin berhembus ketika ia sampai di parkiran sepeda sampai membuat rambut panjangnya terburai. Chaeyeon menyingkirkan rambut yang menghalangi pandangannya namun tiba-tiba seseorang muncul di hadapannya ketika ia sudah mendapatkan penglihatan jelas kembali.

"Lee Chaeyeon." Kata suara itu. Sosoknya tertutup jubah putih bergaris merah muda yang redup. Dari suara dan siluetnya Chaeyeon bisa tahu kalau dia adalah seorang laki-laki.

"Siapa kamu ?" Tanya Chaeyeon yang mulai cemas. Tak pernah didengarnya suara langkah kaki mendekat. Tiba-tiba ia sudah ada di depannya.

"Aku perwakilan." Jawabnya. Bagi Chaeyeon itu bukanlah sebuah jawaban. Hanya kata-kata yang membawanya pada pertanyaan yang lebih besar lagi.

"Apa maksud, Anda ?" Chaeyeon mengerutkan dahinya. "Saya sama sekali tidak mengerti. Permisi."

Chaeyeon segera mengambil sepedanya, menaikinya, dan bersiap mengayuhnya pergi.

"Kamu sudah terpilih. Kamu adalah salah satu pemegang kunci. Mulai sekarang suara dari Rhitea akan datang padamu. Ikuti dia."

Chaeyeon merasakan detakan jantungnya tiba-tiba mengencang. Adrenalin seperti memenuhi setiap inci tubuhnya lalu pandangannya mengabur. Chaeyeon menggeleng-gelengkan kepalanya namun itu tetap tidak bisa mengusir distorsi yang baru saja datang. Malah sekarang sosok lelaki misterius berjubah putih itu telah lenyap. Seperti tak pernah ada apapun di situ. Chaeyeon heran akan keadaannya sendiri. Jika menuruti dirinya yang selalu berpikir logis, dia akan berpikir kalau dirinya terlalu lelah berlatih sampai-sampai kepalanya pusing dan berhalusinasi. Tetapi ketika ia mendengar kata hatinya yang samat, ia merasa kalau sosok berjubah putih itu benar-benar ada. Dan kata-katanya senyata sosoknya yang kini hilang. Chaeyeon makin merasa pusing. Kepalanya berputar lebih kencang dan tubuhnya terasa bergetar hebat.

"Rhitea..."

Sebuah kata samar terdengar sebelum akhirnya Chaeyeon menyerah dari kesadarannya dan jatuh pingsan di lapangan parkir.

~~~

Kim Minju baru saja selesai dengan tugas kuliahnya. Ia jatuhkan kepala di atas meja dibarengi dengan hembusan napas yang hampir terdengar seperti dengusan. Ia merasa lelah, kepalanya panas mengerjakan tugas yang sulit itu. Ia ingin minta tolong pada seseorang tapi pada dasarnya Minju hanya punya sedikit teman yang bisa diandalkan. Dan mereka pun tak bisa hadir untuknya saat ini. Jadilah Minju berkutat sendirian, di dalam perpustakaan kampus yang sepi, hanya bersama tumpukan buku-buku tebal yang seakan mengejeknya karena kelelahan. Sekian menit berada dalam posisi meratap itu, Minju akhirnya bangkit berdiri karena merasakan perutnya lapar. Di kembalikannya buku-buku itu ke dalam raknya, lalu ia berjalan pergi meninggalkan perpustakaan.

12 Anomali. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang