(non tips) - Kejutan!

522 87 7
                                    

Cupcake dark chocolate itu telah disusun dalam kotak-kotak makanan. Raldi tersenyum, puas. Hasil akhir kue tersebut tidak terlalu mengecewakan, meskipun terlampau banyak menambahkan gula. Shafiya menata lilin-lilin dan perlengkapan kejutan lainnya.

"Kak, omong-omong soal target, apa target Kakak selanjutnya?" Shafiya membuka percakapan. Gadis itu menoleh ke Raldi sebelum melanjutkan kegitannya.

"Target untuk saat ini, karena Kakak udah kelas 12 ya, Kakak pengen masuk UI."

"Wah! Jurusan apa?" pancingnya penasaran. Siapa tahu,,dengan jurusan yang dipilih Raldi, ia jadi punya gambaran untuk melanjutkan ke mana setelah lulus SMA agar hidupnya bertarget dan cenderung tidak monoton.

"Hukum UI," jawab Raldi, lugas.

"Semangat!"

"Kalo kamu?"

Skakmat! Raldi justru memutar balik keadaan. Harus jawab apa Shafiya sekarang?

Apakah berterus terang dengan membeberkan jika ia tidak mempunyai target sama sekali?

Tidak, tidak! Itu bukan opsi yang tepat.

Tiba-tiba, ketika ia tengah berpikir keras, sebuah bola lampu menyembul di atasnya. "Sastra Indonesia UI," timpal Shafiya sambil menjetikan jari.

Raldi menampilkan seulas senyum lebar. "Kayak Bang Agam dong, ya," kekehnya kecil.

"Atau nggak, Shaf, untuk plan B kalo Kakak nggak lolos Hukum UI, Kakak pengen lanjut ke Kesos UNPAD."

"Kesos?"

"Kesejahteraan Sosial."

Gelengan di kepala Shafiya menunjukan ketidakpahaman akan ekspresinya. "Ada, ya, jurusan itu? Terus, kalo seumpama Kakak diterima ke Kesos nanti kuliahnya ngapain?"

"Ada," sahut pemuda tersebut dengan binar antusias, "Asiknya di jurusan Kesos, Shaf, kita senantiasa dituntut memiliki jiwa sosial yang tinggi. Coba perhatiin lingkungan sekitar, deh, pasti bakal banyak banget ketimpangan sosial yang terjadi. Enggak hanya itu, yang ngebuat Kakak pengen masuk Kesos, karena di sana ada tugas kuliah semacam social experiment gitu, deh."

"Social experiment kayak nge-prank orang bukan, sih?"

Tawa Raldi seketiak meledak. "Bukan. Bukan gitu. Kita nyamar untuk ngebuktiin apakah masih banyak peduli sama kita atau enggak. Misal, nih, kita nyamar jadi orang skizofernia di jalan-jalan. Bagaimana tanggapan orang-orang saat melihat orang skizofernia? Apakah takut? Atau malah ... membantu?"

"Setelah eksperimen, wah ternyata gitu ya, masih ada tindakan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan skizofernia. Padahal, orang dengan skizofernia itu butuh kasih sayang dari orang sekitar selain pengobatan medis."

Berada di dekat Raldi mengajarkan Shafiya satu hal, jika hidup itu tidak tentang melulu diri sendiri. Ia jadi malu. Se-apatis itulah dirinya sampai tidak memerhatikan lingkungan sekitar?

Open minded, Shafiya.

***

Selama ini, Shafiya hanya mampu melihat bangunan megah bergaya eropa seperti ini hanya di film-film. Kali ini, untuk pertama kalinya ia melihat langsung.

Rumah Gistav jauh dari ekspetasi semula. Ia pikir, Gistav dari kalangan keluarga biasa saja. Toh, lihat saja penampilannya. Tidak mencerminkan kaum borjuis sama sekali, bahkan setiap hari saja pulang-pergi naik angkutan umum. Siapa yang menduga di balik pribadinya yang sederhana memiliki rumah megah bak istana. Tak hentinya Shafiya menganggumi setiap inci dekorasi dalam rumah tersebut. Sebagai pegawai negeri biasa, papa dan mamanya tentu tak akan sanggup membeli rumah seperti rumah Gistav.

Belum henti kenorakan Shafiya terhadap interior rumah ini, ia dikejutkan lagi pintu otomatis yang menggunakan sidik jari atau kode sandsi untuk membuka.

"Wah, keren!" Ia menapak marmer mengkilap sedetik sebelu mengikuti Raldi mempersiapkan kejutan.

Jika Shafiya mampu membaca mimik wajah seseorang, gadis itu pasti mengetahui perubahan raut Raldi ketika melewati ruang tamu. Hanya saja, gadis itu tak terlalu menyadari.

Raldi ingin cepat-cepat berlalu dari ruang tamu. Ruangan itu bak mesin waktu milik Doraemon. Semua ingatan buruk tentang Ristav berkecamuk.

Shafiya berjalan lambat sambil memindai seisi ruangan. Tanpa sadar, ekor matanya mendapati pigura besar keluarga pemilik rumah. Ingatannya lantas tertuju pada si Kembar Ristav dan Gistav. Raldi pernah bercerita Riatav meninggal di balkon kamarnya.

"Kak Raldi, Kak Gistav yang mana?" tanyanya seraya menunjuk dua potret gadis berpakaian ala Yunani kuno.

Alih-alih menjawab, Raldi tersenyum hambar. Foto Ristav. Hal yang ingin ia hindari. "Sebelah kanan."

Shafiya mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Ketika gadis itu hendak menyusul Raldi, keabsenen deru mesin sepeda motor tua Agam membuatnya terperangah.

"Kak Gistav udah datenggg."

Raldi tersentak dan segera menyusun cupcake di atas piring porselen besar. Shafiya membantu dengan menancapkan lilin-lilin. Tak butuh waktu lama untuk mereka bersembunyi di ruang keluarga. Confetti telah bersiap sedia di tangan kanan Shafiya.

Ketika mendengar suara langkah mendekat dan deheman Agam, Raldi menghitung mundur.

Satu....

Dua....

"Selamat ulang tahun, Gistav," ucapnya lantang bersamaan dengan tebaran confetti di udara.

Gistav terperabgah. Cupcake coklat itu, lilin-lilin coklat itu, tak ayal langsung menciptakan gurat kebahagiaan dalam sorot matanya.

"Make a wish dong, Gis." Agam menambahi.

Gistav memejamkan mata. Sementara bibirnya menyebut harapan lirih. "Aku pengen pulang bareng Raldi dan Mama."

Jalan itulah yang seharusnya ia tempuh. Pulang.

***

Gistavia Diary

Sudah waktunya berhenti menghindar, biarkan luka ini dengan sendirinya memudar, aku hanya perlu bersandar.

***

a/n
Hueeee maaf ya telat update lagi.
Organisasi, tugas, hapalan, belajar, itu bikin aku sulid buka wp :(
Aku udah nulis cerita ini sampe tamat, updatenya aja yang susah asdfgjkl. Maaf bangettt harus telat lagi.

Sincerely Yours,
Diffean

Panduan Mendekati GebetanWhere stories live. Discover now