(non tips) - Gistavia Ezperanza

947 151 7
                                    

"Jaga ini, ya." Senyum tulus gadis bermata teduh itu merekah. Satu tangannya terulur menyerahkan sebuah kotak musik dengan dua pasangan yang saling mengitari panggung kecil di bagian tengah. "Jangan dirusak."

"Kenapa buat gue? Itu, kan, kotak musik kesayangan lo?" tanya gadis berkacamata di hadapannya. Udara dingin kota Yogyakata menelusup melalui pori-porinya. Memainkan helai rambutnya yang terhempas menampar-nampar pipi. Ia merapatkan jaket, menatap kosong gadis bermata teduh itu di hadapannya dengan sebongkah tanda tanya.

Menghela napas lelah, gadis bermata teduh tersebut lagi-lagi menyunggingkan senyum. "Kalo gue bisa, gue bakal jaga kotak ini sendirian. Sayangnya, gue nggak mampu untuk itu," keluhnya seraya mengalihkan pandangan.

"Tapi kan---"

"Jaga aja, Gis. Please, demi gue. Itu satu-satunya barang berharga yang gue miliki untuk saat ini." Setelah memberikan kotak musik tersebut, gadis bermata teduh itu tiba-tiba terbalik. Beranjak meninggalkan Gistav seorang diri di jalan Malioboro yang sunyi karena fajar belum sepenuhya menyingsing.

"Waktu gue udah nggak lama," ucapnya getir, tanpa menoleh ke belakang. Selanjutnya, bayangan tubuh gadis itu lenyap mengecil karena membelah jalanan.

Bruk.

Tiba-tiba, tubuh Gistav terhuyung ke lantai marmer. Secepat kilat, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Ia meringis lantaran tubuhnya yang terjatuh dari atas ranjang.

Mengusap wajahnya gerah, ia berdecak sebal. Mimpi buruk itu datang lagi. Genap dua minggu belakangan, mimpi itu menghantui setiap malamnya dengan potongan peristiwa serupa. Hal tersebut tentu saja menciptakan kerinduan yang mendalam terhadap sosok gadis bermata teduh di dalam mimpinya.

Kata orang, fenomena tersebut disebut reccuring dreams. Salah satu penyebab reccuring dreams karena masalah psikologis. Bisa juga lantaran kejadian masa lalu yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Namun, gadis itu mengingkarinya.

Tidak. Sepertinya, dia sudah berdamai dengan masa lalu---meski belum sepenuhnya. Tapi, kenapa mimpi itu terus menerus bertandang di waktu tidurnya?

Masih dengan piyama dan rambut seperti sarang tawon, Gistav bangkit. Beranjak dari lantai, lalu beralih ke lemari pakaian.

Tangannya bergerilya mencari sesuatu di dalam lemari tersebut. Hingga jemarinya menyentuh sebuah kotak merah muda berhias hati. Diambilnya kotak tersebut dengan gerakan cepat.

Gistav mengusap permukaan kotak musik itu hati-hati. Membukanya perlahan seraya memejamkan mata.

Alunan musik Für Elise terdengar lembut merambat ke indra pendengarannya. Kenangan di dalam kotak musik itu seolah menyeruak keluar. Menyesakkan. Berhamburan bagai keping-keping fatamorgana.

Tersenyum pias, ditutupnya kotak musik tersebut lalu beralih ke nakas meja. Di sana, terdapat foto lelaki berseragam putih abu-abu yang diambil secara candid. Pemuda jangkung dengan alis tebal bak ulat mulu, kulit kuning langsat sedikit kecoklatan, bibir merah muda alami merekah dipadu kumis tipis di atasnya serta gigi taring gingsulnya yang menjadi daya tarik tersendiri.

Kalau saja gadis bermata teduh itu tidak pergi meninggalkannya, besar kemungkinan dia tidak akan bertemu dengan sosok di foto tersebut.

"Raldi, maaf," bisiknya pada diri sendiri.

Ah, andai tiga tahun lalu dia peka terhadap keadaan.

Mungkin, semua tidak akan seperti ini. Dan mungkin juga, dia tidak perlu memakai 'topeng' yang terjebak dalam kemunafikan.

Panduan Mendekati GebetanWhere stories live. Discover now