Tips 2: Jadilah Penguntit

1.9K 226 34
                                    

Raldito Wiratama bukanlah sosok cassanova seperti novel romansa kesukaan Shafiya.

Bukan pula jajaran cowok terpopuler di SMA Dharma Bakti yang dikagumi kaum hawa. Atau bahkan, berparas tampan dengan kehebatan tiada duanya.

Bukan.

Raldi bukan sosok seperti itu.

Oleh karenanya, Shafiya mampu menjatuhkan cinta pada hati se-preskriptif Raldi.

Terhitung satu minggu---tepatnya selepas ujian akhir semester berakhir---Shafiya mulai merasakan dimabuk asmara pada kakak kelasnya yang organisatoris itu.

"Shafiya." Laras beringsut ke bangku gadis berambut sebahu tersebut sembari menenteng totebag tosca berisi novel remaja.

Kalau dalam keadaan normal, bisa dipastikan Shafiya akan melonjak kegirangan karena Laras membawakan stok bacaan novel romansa terbarunya.

Akan tetapi, kali ini bukan dalam keadaan normal. Pikiran cewek itu sepenuhnya berotasi pada buku Panduan Mendekati Gebetan dan Raldito Wiratama.

"Ih, Shaf." Merasa diacuhkan, Laras mengerucutkan bibir sebal. "Padahal, gue mau rekomendasi novel terbarunya Ika Natassa."

Hening. Tidak terdengar respon dari Shafiya. Tak gentar, Laras menyelinap di antara rongga bangku Shafiya dan Retta.

"Geseran dong, Ret," pinta Laras.

Retta memutar bola mata gusar, kemudian kembali berkutat dengan modul pembelajaran PKN STAN.

"Shaf, lo kenapa, sih?" jeda sejenak sebelum Laras melanjutkan. "Lo mikirin Kak Raldi lagi? Astaga, Shaf. Di SMA Dharma Bakti masih banyak cogan selain dia," celetuknya terus terang. Memang, gadis berpita oranye tersebut menjadi pihak kontra terhadap kedekatan sahabatnya dengan Raldi anak XII IPS 1.

"Gue masih mau berusaha, Laras." Shafiya memberengut sebal seraya menarik tas ransel magenta-nya. Kepala cewek itu melonggok mencari-cari keberadaan buku Panduan Mendekati Gebetan. Sedangkan tangan kananya menggeledah keberadaan buku bewarna merah jambu tersebut.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Shafiya sedikit dongkol terhadap sikap Laras yang selalu anti terhadap aksi pendekatannya dengan Raldi. Berbeda sekali dengan Retta yang berada dalam tim afirmasi.

"Lho? Kok, nggak ada? Perasaan tadi gue masukin, kok," gumam Shafiya kepada dirinya sendiri.

Menghela napas gerah, Laras bertanya, "Lo cari apa, sih?"

"Buku baru," jawab Shafiya panik sambil memuntahkan isi ranselnya.

Namun, tetap saja buku itu tidak terlihat.

Damn! Bagaimana dia bisa tahu panduan selanjutnya!?

Shafiya ingat---bahkan masih jelas--buku itu ia masukan ke ransel ketika menyiapkan buku pelajaran di pagi harinya. Tetapi, kenapa sekarang mendadak lenyap?

Tiba-tiba, percakapan dengan Auden kemarin malam terngiang di benaknya.

Mbak, gue boleh pinjem ya? Ya? Ya?

Shafiya menepuk dahinya, pias. Tidak salah lagi, ini pasti kelakuan Auden!

Duh, tuh anak kebiasaan kalo mau minjem. Pasti diambil pas gue lagi mandi. Shafiya membatin sembari berdecak kesal.

"Retta," panggil gadis berambut sebahu itu lirih.

Sementara yang dipanggil, hanya merespon dengan kedua alis yang saling bertaut.

"Lo kemarin sempet baca buku Panduan Mendekati Gebetan, kan? Tips selanjutnya apa?" tanya Shafiya tidak sabar. Gadis itu mendesah berat.

Retta tampak mengingat sebelum berpikir. "Agak lupa sih, tapi intinya ... jadilah penguntit." Gadis berkepang satu itu membenarkan letak kacamatanya sebelum kembali berujar. "Ah iya! Bener! Intinya jadilah penguntit."

Merasa diacuhkan, Laras menatap Shafiya dan Retta bergantian. "Kalian bahas apa, sih?"

"Bahas supaya gue bisa jadian sama kak Raldi," tukas Shafiya.

"ASTAGA, SHAF---"

"Shut up, Ras. Gue yakin, gue bisa merobohkan tembok tak kasat mata antara gue dan Kak Raldi."

Laras mencebik. Dikeluarkannya salah satu novel dari totebag tosca sembari melirik Shafiya. "Gue udah kasih tau, ya, kalo lo sama Kak Raldi ibarat kerak Bumi dan Pluto. Jangan salahin gue kalo endingnya lo terkena syndrome heartwarming."

***

Menghadapi kepribadian Laras yang blak-blakan dan berterus terang, tak membuat Shafiya gentar mendekati Raldi. Meski gadis itu tidak percaya diri karena mengetahui kecintaan Raldi terhadap berpikir ilmiah dan berpikir kritis, nama Raldito Wiratama masih tertaptri di hatinya.

Berat. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan Shafiya yang terkadang mudah termakan hoax.

"Shaf, Shaf, Kak Raldi lewat." Retta berbisik pelan---berupaya agar Laras tidak mendengar. Bisa gawat urusannya kalau gadis berpita oranye itu menyadari suara Retta.

Seakan mendapat kejut listrik, Shafiya spontan melacak keberadaan Raldi melalui ekor matanya.

Tepat di arah jam dua belas, sesosok figur berseragam SMA yang super menaati peraturan sekolah, dengan tangan kanan menangkup buku filsafat---entah judulnya apa karena Shafiya juga tidak melihat seberapa jelas---sedang tertawa bersama salah satu temannya.

Mati-matian, Shafiya menahan senyum yang berusaha mengembang.

Mengalihkan tatapannya pada Raldi, Shafiya mengerling ke arah gadis berpita oranye.

"Aman," gumamnya lirih. "Laras sibuk baca novel. Aman."

Kemudian, perhatiannya kembali terpusat pada sosok yang membuatnya dimabuk asmara tereebut.

Shafiya kembali memerhatikannya lamat-lamat. Kali ini, dengan ponsel yang diletakan di depan dada. Sedangkan, jemari mungilnya bergerak membidik kamera.

Flash kamera dan suara jepretan menyala bersamaan ketika foto berhasil diambil.

Mampus. Mati gue. Kenapa lupa matiin flash!

Raldi terkejut. Pembicaraan dengan temannya spontan terhenti. Dengan gerakan cepat, tatapannya tertumbuk pada suara flash kamera itu berasal.

Raut pemuda tersebut sontak berubah. Datar. Tembok. Dingin. Tak tersentuh. Tawa renyahnya pun ikut mereda tak bersisa. Iris hitam pekat itu menghujam tepat di manik mata Shafiya, seakan mencabik-cabiknya meski hanya sekali lihat.


Sementara Shafiya, tubuhnya spontan menegang dengan tangan kanan menggengam ponsel. Sorot tajam Raldi menghujam mata coklatnya. Begitu menusuk dengan luapan emosi tak terdefinisikan.

Selama beberapa detik, tatapan mereka saling beradu. Bertaut dalam jarak lumayan dekat.

"Hai, Kak Raldi," sapa Shafiya, salah tingkah. Wajahnya terasa mengelupas, dia butuh tempat sekarang juga untuk menyembunyikan paras!

Sedangkan yang disapa, hanya melengos sembari meninggalkan kantin. "Yuk, ke perpus aja."

***

Shafiya's Note

Kak Raldi kalo sama orang lain ramah. Kenapa giliran sama gue ngeselin!

Astaga, nenek moyang gue salah apa sama nenek moyang doi?

***

a/n
Jadilah penguntitnya gagal nih :"""

Kalo chapter depan berhasil nggak ya?

Yuk, tunggu kelanjutannya.

Salam Sayang
Diffean ❤

Panduan Mendekati GebetanWhere stories live. Discover now