(non-tips) Kelam #1

576 95 1
                                    

Brak

Untuk kesekian kali, tubuh ringkihnya tersungkur di tanah lapang. Terjerembab, dengan sepeda ontel yang ambruk tak jauh dari sana.

Ia meringis, merasakan nyeri luar biasa di pelipisnya yang tergores kerikil hingga menusuk permukaan kulit. Sementara bibirnya yang berciuman dengan tanah, meludah untuk mengeluarkan pasir-pasir kotor itu keluar dari rongga mulut.

"Dasar anak pengkhianat negara!"

"Anak tahanan politik!"

"Orang-orang 'kiri' yang melawan negara kayak kamu dan keluargamu itu nggak pantes hidup!"

"Bapak kamu pasti diasingkan ke Pulau Buru. Namanya aja tahanan politik hahah. Siap-siap disiksa aja, deh."

Suara ejekan anak-anak gembul itu berdengung di telinganya. Menyakitkan. Bapaknya memang tahanan politik, tapi beliau bukan pengkhianat! Ia hanya seseorang yang ingin menegakkan HAM di rezim ini, begitu pikiran naif si Raldito Wiratama kecil.

Seorang anak bongsor dengan rambut cepak---kira-kira dua tahun di atasnya---menyiram Raldi kecil dengan seember air bau yang menyengat.

Byur

Tubuhnya yang masih tergolek lemah untuk berdiri, berakhir nahas dengan siraman air bau itu, lagi.

"Kamu sama keluarga kamu pergi dari kota ini!! Kami nggak  nerima anak tahanan politik atau kelurga yang membangkang dengan negara untuk hidup bebas tanpa celaan dan hinaan," usirnya murka lantas disambut tawa terbahak semua kawannya.

Raldi kecil ingin sekali menangis saat itu juga. Tetapi, teringat suara lembut sang Ibu yang mengatakan anak laki-laki tidak boleh menangis, membuatnya mengurungkan niat. Ia pun bangkit, mengambil sepedanya yang telah dikempesi dengan langkah  terserok. Hati kecilnya berseteru untuk membalas perbuatan mereka.

LAWAN RALDI, LAWAN! KAMU NGGAK SALAH. MEREKA YANG KETERLALUAN SELALU BULLY KAMU TIAP HARI.

Akan tetapi, kata hatinya tak pernah sinkron dengan perbuatan pada kala itu. Ia hanya menunduk ketika berpapasan dengan tujuh orang geng bully yang memusuhinya hanya karena bapaknya tahanan politik.

Ia pergi dengan harga diri yang habis terinjak-injak. Sementara raungan 'dasar anak tahanan politik', 'musuh negara', 'pengkhianat orang-orang 'kiri'' bersahut-sahutan di gendang telinganya.

Raldi kecil ingin pulang ke rumah, tetapi keadaannya yang seperti ini pasti akan membuat Ibu khawatir. Dahi berdarah, pipi lebam, baju seragam basah kuyup, ban sepeda bocor pula. Jadi, ia memutuskan pergi ke bibir pantai Kenjeran terlebih dahulu untuk mengeringkan pakaian di tengah semilir angin dan sinar matahari.

"Bapak apa kabar di sana?" gumamnya yang dibalas desauan angin pantai.  Ia memeluk lututnya sendiri seraya memandang langit biru yang dipenuhi gumpalan kapas. "Raldi capek jadi bahan olok temen-temen. Raldi nggak kayak Bang Agam yang berani melawan."

Tiba-tiba, seorang gadis kecil seusianya berdiri dengan tatapan iba. "Kamu nggak papa?" tanya gadis itu sembari menunjuk darah segar yang mengalir di pelipisnya.

Anak lelaki itu terkesiap, ia menatap kagum gadis berwajah eropa di hadapannya sekarang.

Bagaimana bisa gadis itu mau mendekatinya? Bukankah anak-anak lain tidak ada yang mau berdekatan dengan anak tahanan politik seperti dirinya, ya?

"Kamu kenapa?" Gadis itu mendaratkan pantat di samping Raldi kecil seraya merogoh sesuatu di saku rok merah mudanya.

"Eh?" Raldi mendadak lola kala berinteraksi. Cacian dan makian dari orang-orang sekitar membuatnya kerap kali menutup diri.

Panduan Mendekati GebetanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora