Tips 3: Chit Chat (2)

1.1K 165 13
                                    

Langkahnya terayun gontai ketika menapaki lantai mengkilat kedai Brunneis. Semerbak aroma coklat swiss yang legit menyambut indra penciumannya sejak kali pertama mendorong pintu kaca kedai tersebut. Perpanduan antara lelehan coklat, karamel, kayu manis, susuk bubuk, menguar bersamaan ketika lonceng kecil di atas pintu masuk berdenting menandakan ada pelanggan baru.

Hal yang paling ia rindukan dari kedai minimalis ini adalah: es coklat yang tiada duanya.

"Kak Raldi?" Suara familier itu mengusik perhatiannya.
Layaknya orang normal lain ketika disapa, pemuda ber-hoodie putih itu mengalihkan tatapannya pada sesosok gadis berambut sebahu yang berdiri tak jauh dari meja kasir.

"Hai juga, Shaf," sapanya lirih seraya mengedarkan pandangan. Menghindari mata bulat Shafiya adalah cara terbaik karena Raldi enggan mengulangi kesalahan yang sama. Layaknya tiga tahun lalu.

Semburat kekecewaan terlukis sempurna di wajah oval Shafiya. Gadis berambut sebahu itu merogoh ponsel, diulurkannya benda persegi panjang tersebut ke arah Raldi. "Belum baca chat dari aku, kan?"

Berjarak dua langkah dari tempat Raldi berdiri, seorang gadis bermata hazel sedang mengamati interaksi keduanya dalam diam.

"Ah, maaf ya, Shaf. Tadi chat kamu tenggelem sama grup organisasi." Jika Shafiya mampu menebak  mana seseorang yang berkata jujur dan berbohong, maka dia akan dengan mudah mengenali gerak-gerik Raldi yang termasuk pilihan kedua. Akan tetapi, dia tidak memiliki kemampuan dalam bidang tersebut.

Raldi bukannya benci terhadap Shafiya. Bukan pula tidak menginginkan kehadiran gadis berambut sebahu tersebut. Hanya saja, kejadian tiga tahun silam membuatnya waspada terhadap seseorang yang memiliki perasaan lebih dari teman terhadap dirinya. Ia hanya ingin berteman. Berteman baik saja. Tanpa ada ikatan maupun perasaan lebih.

Namun, Shafiya justru salah mengartikan sifat ramahnya ketika ujian akhir semester. Pemuda tersebut bahkan selalu ramah terhadap semua orang. Bukan hanya Shafiya. Shafiya saja yang terlalu geer.

"Jadi, gimana, Kak? Kakak mau nggak kita diskusi bareng?

"Raldi, aku pesen dulu, ya." Tidak betah menjadi pengamat, Gistav menyela pembicaraan keduanya. Kemudian, segera berlalu dari sana. Gadis tersebut sempat tersenyum cerah kepada Shafiya. Akan tetapi, Shafiya membalasnya dengan senyuman masam. Ia hanya sebal, Raldi  selalu saja menolak ajakannya pergi berdua. Tetapi, kenapa jika Gistav terdapat pengecualian? Mungkinkah Raldi menaruh perasaan kepada gadis bermata hazel tersebut?

Mengulum bibir bawahnya, ragu, Raldi menjawab lirih, "Diskusi tentang apa?"

"Apa aja. Aku pengen kayak Kak Raldi."

Spontan, alis Raldi terangkat sebelah. "Kenapa? Nggak ada yang spesial dengan diri Kakak."

"Pemikiran Kakak yang selalu menerapkan critical thinking." Shafiya tersenyum tulus. "Keren. Kenapa bisa gitu?"

Raldi menghela napas lelah. Ia melayangkan tatapan sekilas pada Gistav yang kini sibuk dengan es coklat dan buku tebal di hadapannya. Lalu, kembali melirik Shafiya secara gamang. "Oke, pembahasaan lebih lanjut besok, ya, pas di perpus." Setelah mengatakan hal tersebut, Raldi berbalik. Berjalan menuju kasir tanpa mengindahkan Shafiya.

Berbagai pertanyaan menyerang benak Raldi terhadap perubahan sikap Shafiya. Dulu, seingatnya, Shafiya itu adik kelas yang manis. Tidak agresif seperti sekarang. Adik kelas teman sebangkunya ketika ujian akhir semester yang sering mengoceh sepanjang waktu tentang tokoh-tokoh ilusi dari novel romance favoritnya. Atau, bercerita tentang serial K-Drama yang membuatnya menangis sesenggukan. Tidak jarang pula, membicarakan hal tidak penting lainnya. Dulu, Raldi akan meresponnya dengan supel. Ikut tertawa sesekali.

Panduan Mendekati GebetanDär berättelser lever. Upptäck nu