(non tips) Kue Ulang Tahun

514 86 1
                                    

Setelah berhari-hari bergulat dengan pikirannya sendiri, kini Shafiya telah memutuskan, ia menyerah. Kesabarannya sudah berada di fase terendah.

Setiap orang pasti memiliki 'batasan'. Sama seperti tekanan udara kala evaporasi, ia juga mempunyai titik jenuh. Perjuangannya saat ini usai berakhir. Dirinya sedang dipermainkan oleh semesta. Semesta memberikan Raldi beserta perhatiannya yang hangat, lalu membuatnya menghilang dengan kata yang  sangat menyakitkan. Harapannya hancur berkeping dipatahkan setelah dibawa terbang jauh ke angkasa. Lalu, sedetik kemudian dijatuhkan untuk menghadap kembali pada realita.

Lelah. Shafiya menyerah sudah. Untuk apa memperjuangkan seseorang yang tidak memperjuangkan dirinya? Meskipun gadis berambut sebahu itu memiliki sikap yang pantang menyerah, saat stok kesabarannya sudah mencapai ujung tanduk, ia akan menyerah juga pada akhirnya.

Menyerah bukan berarti kalah.
Ia hanya bersikap realistis pada keadaan.

Memang sedari awal, harusnya begini. Raldi terlalu sulit untuk direngkuh. Shafiya sadar akan hal itu. Jadi, apa yang musti diharapkan dari pemuda idealis tersebut?

Memantapkan tekad, Shafiya harus memilih opsi terberat dari hidupnya.

Mengikhlaskan Raldi.

***

"Kamu mau bikin apa, sih?" Seorang wanita paruh baya memerhatikan anak bungsunya dengan dahi berkerut.

"Kue buat Gistav. Waktu itu, aku cuma sempet ngucapin, Bu." Raldi menjawab pertanyaan ibunya dengan tangan fokus membalik-balik halaman buku resep.

Ibunya menggeleng sambil tersenyum. "Kejutan buat Gistav ceritanya?"

Sebagai jawaban, Raldi hanya mengangguk.

"Sendirian aja?" Dahi Arini berkerut, lengkap dengan sorot meminta penjelasaan.

"Sama temen aku, sih. Shafiya namanya."

Seakan mendengar nama yang sudah tidak asing lagi, Arini memelesat ke arah Raldi sambil berusaha mengingat-ingat. "Shafiya .... adik kelas yang suka sama kamu bukan? Agam cerita sama Ibu begitu."

Dalam hati, Raldi merutuk gusar. Agam selalu dan akan tetap menjahilinya jika berhubungan dengan kaum adam. Sebenarnya, niat Agam baik. Ia ingin adik semata wayangnya itu melupakan masa lalunya dengan Ristav dan mulai membuka diri. Setidaknya, hangat dan tidak menolak mentah-mentah gadis yang menyukainya. Arini tentu senang jika Raldi dekat dengan kaum hawa selain Gistav. Itu artinya, putra bungsunya sudah tidak lagi terjebak dalam kubangan masa lalu.

"Tapi, aku enggak suka sama Shafiya."

Arini lantas tertawa. "Dasar Mr. Idealis." Perkiraannya melesat, Arini pikir, Raldi juga akan balas mecintai Shafiya.

"Idealisme itu perlu, Bu, di tengah zaman milenial seperti ini. Kalau enggak, kita bakal mudah tergerus arus. Melebur bersama lingkungan. Dan, terjebak dalam konsumerisme  serta gaya hidup hedonis."

"Tapi, konsep idealis yang bagaimana?" pancing Arini, ia sadar putranya memiliki kepribadian dan karakter yang mirip seperti suaminya.

"Idealisme yang realistis. Tidak melangit, tapi juga selalu membumi. Idealisme yang tunduk kepada perintah Tuhan dan kasih sayang kepada sesama mahkluk alam semesta."

Arini mengangguk, tampak setuju. Wanita dengan kerutan di wajah akibat termakan usia tersebut menatap Raldi lekat-lekat sebelum berucap. "Ibu tidak mempersalahkan prinsip idealismemu, Ral. Tetapi, Ibu harap, alasan kamu enggan berhubungan dengan kaum hawa bukan karena kejadian yang menimpa Ristav. Jangan ada korban lagi."

Seulas senyum getir tercipta di bibir Raldi. "Justru karena aku nggak mau ada korban lagi, Bu. Mangkannya aku nggak mau Shafiya deket-deket lagi."

"Ketakutanmu itu justru membuat semua masalah menjadi rumit. Kamu cukup berdamai dengan masa lalu. Lagipula, tidak semua orang 'kan memiliki karakter seperti Ristav, bukan?"

Raldi tak mampu membalas. Bibirnya terlalu kelu untuk berucap. Apa yang dikatakan ibunya benar. Tidak semua orang seperti Ristav, tapi apa salahnya berjaga-jaga jika kejadian itu terulang kembali?

Menghela napas lelah, Raldi mengarahkan seluruh atensi pada wanita paruh baya di sebelahnya.

"Kamu terlalu ketakutan. Kamu dijebak perasaan bersalah oleh diri sendiri. Satu-satunya cara untuk menghalau itu hanya satu, Ral...."

"Melupakan masa lalu? Raldi sedang berusaha melupakannya."

"Bukan. Tapi berdamai dengan masa lalu. Semakin kamu berusaha melupakan, semakin pula ketakutan itu menghantui. Coba kamu ikhlaskan secara perlahan."

***

Sejak dua menit yang lalu, Shafiya memerhatikan rumah minimalis bertingkat dua di hadapannya. Benarkah ini alamat Raldi?
Sesaat sebelum ragu menyergap dirinya, seorang pria dengan wajah bak pinang dibelah dua dengan Raldi beringsut ke teras sambil menggaet surat kabar. Akan tetapi, ketika hendak kembali lagi ke rumah, pemuda itu menyadari kehadiran Shafiya.

"Shafiya, ya? Adek kelasnya Raldi, kan?" tanyanya sambil mendekat ke pagar.

Seolah bibirnya terkunci rapat, Shafiya hanya mampu mengangguk.

"Masuk, Shaf." Agam menampilkan seulas senyum lebar seraya mempersilahkan gadis berambut sebahu itu menjejaki lantai teras rumahnya.

"Makasi, Kak," ucap Shafiya malu-malu.

"Ada janjian sama Raldi, ya?" Cowok berkaos putih polos itu membimbing Shafiya sampai di ruang tamu.

Ketika langkah kaki gadis berambut sebahu itu untuk pertama kalinya menginjak lantai rumah Raldi, untuk sesaat, ia tertegun. Decakan kagum meluncur dari bibirnya. Batinnya segera diserbu berbagai pertanyaan.

Ini serius rumah Kak Raldi? Gila sih kayak perpustakaan elah!

"Shaf?" Menyadari sang Tamu terpaku di satu tempat, Agam berbalik seraya melayangkan tanda tanya besar kepada Shafiya.

"Keren," puji Shafiya gamblang sambil memindai seisi ruangan. Tidak hanya dijejali sejumlah rak buku, ruang tamu ini juga dihias dengan puluhan piala serta penghargaan yang berjejer di lemari kaca.

Bener-bener, nih, keluarganya Kak Raldi.

"Apanya coba yang keren, biasa aja, kok."

"Pialanya. Banyak banget." Sebagai gadis remaja yang apatis dan cenderung berada di zona nyaman, Shafiya merasa minder dekat dengan Raldi sekarang. Betapa 'kosong'nya pengetahuan gadis itu daripada Raldi si Aktivis Muda. Pantas saja Raldi hanya menjadikannya teman! Senyumannya mendadak getir.

"Hahaha, piala di rak ini didominasi sama piala Raldi, Shaf."

"Wah! Serius?" Dengan cepat Shafiya mendekat ke rak piala. Tatapannya berubah antusias saat kata 'Raldi' mulai disinggung. Dasar labil! Begitulah Shafiya. Membenci Raldi sepertinya tidak ada gunanya, karena ... sekeras apa pun logikanya menolak melupakan Raldi, kata hatinya terus saja mengelak. Raldi tetaplah Raldi. Orang pertama di kehidupan SMA-nya yang telah masuk membuka tirai asmara.

Agam mengangguk tak kalah antusias. "Iya, sebagian besar pialanya Raldi. Mulai dari menang lomba debat, lomba pidato, lomba menulis opini, banyak deh. Tapi rata-rata piala menang lomba debat, sih."

Oke, kekaguman pada Raldi meningkat drastis sekarang.

Shafiya menyesal kenapa ditakdirkan menjadi pribadi yang mudah sekali terbawa perasaan....

Atau, ini pengaruh dari banyaknya ia mengkonsumsi novel percintaan?

***

Shafiya Notes's

Tolong, ini kenapa gue baperan amat yak?

CUMA dianggep temen padahal.

***

Panduan Mendekati GebetanWhere stories live. Discover now