Tips 4: Dekati Juga Di RL (2)

912 157 8
                                    

Hubungan Shafiya dengan Laras tidak kunjung membaik. Justru semakin memburuk karena insiden di kamar perempuan dua hari yang lalu. Perang dingin dan saling lempar tatapan sinis cenderung dilancarkan. Bahkan, mereka seperti dua orang yang tidak saling mengenal.

Retta tidak berpihak pada siapapun. Ia tidak mendukung Laras atau pun Shafiya. Meski ketika jam istirahat tiba, ia menghabiskan waktu bersama Shafiya di kantin---tak mengubah hubungan dekatnya dengan Laras.

Namun, terdapat pengecualian untuk hari ini.

Kalau Retta perhatikan, sudah lebih dari sepuluh kali Shafiya melirik arlojinya menanti jam istirahat tiba sejak jam pertama pembelajaran dimulai.

Tepat setelah bel penanda waktu istirahat pertama berdenting, Shafiya lantas berpendar dari kelas, mengabaikan tatapan satiris Laras serta tanda tanya besar di kepala Retta.

Langkahnya terayun riang ketika melewati koridor kelas XII menuju perpustakaan. Sesampainya di sana, ia mendorong pintu kacanya hati-hati, semerbak aroma buku-buku lawas berpadu pendingin ruangan seketika menyergap indra penciumannya.

"Shaf," sapa Raldi pelan seraya melambaikan sebuah buku tebal bersampul merah ketika langkah Shafiya baru saja menapak di lantai mengkilat perpustakaan.

"Hai, Kak Raldi," tegur Shafiya malu-malu, salah tingkah. Hari ini, ia bertekad menjalankan tips keempat di buku Panduan Mendekati Gebetan---dekati dia juga di real life.

"Topik tentang apa?" Raldi bertanya to the point.

Menggeleng lirih, Shafiya merutuk pada dirinya sendiri.

Ah, bego. Kenapa gue juga nggak nyiapin topik, ya?

"Umm, aku boleh tanya nggak, Kak?" Tatapannya kini beralih kepada Raldi---pemuda yang ramah kepada orang lain, tetapi tidak pada Shafiya.

"Iya?" jawab Raldi, singkat. Ia berencana tidak akan basa-basi. Fokus pada tujuan utamanya mengajak Shafiya. Berdiskusi. Bukan modal dusta. Atau, menjalankan aksi PDKT.

"Masalah bio Instagram Kak Raldi." Gadis berambut sebahu itu mengeluarkan ponsel. Mengetikkan salah satu user name pengguna Instagaram, lalu menunjukkannya kepada Raldi. "Kenapa tulisannya 'Pendukung Budaya Berpikir Ilmiah'? Emang penting, ya? Bukankah banyak hal di dunia ini yang ... menurutku tidak bisa dijelaskan secara ilmiah."

Dalam hati, Shafiya melengos lega. Akhirnya dia menemukan topik yang tepat. Karena sebetulnya, dia termasuk satu di antara sekian banyak orang yang anti membaca buku berat. Mau membahas topik berat, tapi dia sendiri tidak tahu, kan lucu!

Sebelum menjawab, Raldi tersenyum. Tampak tertarik. Itu artinya, umpan Shafiya berhasil. "Shaf, kamu tau nggak tiga tingkat pemikiran manusia menurut Auguste Comte?" Bukannya menjawab, Raldi justru balik bertanya.

Sunyi menguasai keadaan. Kening Shafiya tampak bergelombang---tanda jika gadis itu sedang berpikir.

Setahunya, Auguste Comte merupakan Bapak Sosiologi. Pencetus ilmu pengetahuan Sosiologi setelah terjadinya revolusi industri dan revolusi prancis di negara bagian barat. Itu saja. Sebagai anak IPS, kemampuan Sosiologi Shafiya bisa dibilang lemah---bahkan, dia saja lupa semua teori milik Aguste Comte serta teori lain seperti punya Maximillian Weber.

"Enggak, Kak. Lupa." Menyerah untuk mengingat, Shafiya mengedikkan bahu.

"Jadi, ada tiga, Shaf." Raldi mendekatkan tubuhnya di samping Shafiya dengan jemari yang membentuk angka tiga. "Berpikir tradisional, berpikir sederhana dan berpikir ilmiah. Berpikir tradisional itu biasa disebut berpikir teologi, sementara berpikir sederhana tahap berpikir metafisik, kalau berpikir ilmiah itu berpikir positivis."

"Nah, yang mau kita bahas berpikir ilmiah."

"Emang berpikir ilmiah itu logis?" Itu pertanyaan bodoh. Shafiya baru menyadari hal tersebut ketika kalimat itu meluncur tanpa disengaja. Buru-buru gadis itu mengalihkan pandangan ke arah karena wajahnya yang memerah salah tingkah. Raldi pasti akan menertawainya.

Namun, di luar dugaan, Raldi tidak tertawa. Lelaki itu mengulum senyum tipis seraya mengangguk antusias. "Iya, Shaf. Menurut kamu enggak, ya?" goda Raldi sambil terkekeh menyaksikan salah tingkah Shafiya. Berbeda dengan Gistav yang terkesan analistis dan kritis ketika diajak berdiskusi, Shafiya justru sebaliknya.

"Menurutku, berpikir ilmiah harus diterapkan di semua aspek kehidupan, tidak hanya di lingkungan sekolah. Karena setiap hari, otak kita akan menerima segala jenis informasi baru. Maka, paradigma kita bakal berantakan karena hal tersebut.

"Kalau tidak mengenal berpikir ilmiah, bisa dipastikan, hipotesis yang kita ambil akan keliru. Nah, maka dari itu Shaf, pentingnya proses berpikir ilmiah." Raldi mengutarakan asumsinya dengan wajah berbinar. "Dalam proses berpikir ilmiah, kita akan dibiasakan dengan menghubungkan data dalam mengambil kesimpulan di setiap kejadian. Hingga membuahkan bukti-bukti yang valid, hipotesis tunggal yang empiris dan kebenaran itu sendiri."

"Kenapa ada hubungannya dengan problem solving? Menurutku, itu berhubungan dengan pengambilan kesimpulan."

Raldi mengangguk. "Yup, itu erat kaitannya dengan penyelesaian masalah. Kalau hipotesis yang diambil saja ngawur, otomatis penyelesaian masalahnya juga asal-asalan. Dampaknya, akan menjadi insan-insan yang mudah termakan hoax. Gampang terpecah belah." Raldi menutup opininya dengan senyum terkembang.

"Tapi, Kak...."

"Tapi, apa?"

"Bukankah di sekolah kita proses berpikir ilmiah tidak diterapkan? Kebanyakan guru---ralat, semua guru menganut sistem DDCH alias Duduk Diam Catat Hapal. Miris, ya. Bukan menekankan pada konsep dasarnya. Ulangan HOTS, eh pada kelabakan semua."

Tawa Raldi sontak berderai. Terdengar renyah di telinga Shafiya. "Hapal mati materi, ulangan kamu bagus. Paham konsep dasar belakangan aja. Toh, bisa nyontek pas ulangan. Bukankah di Indonesia hal itu sudah menjadi sebuah habit? Bukan lagi pelanggaran?"

Hati Shafiya menghangat. Tidak salah dia menjatuhkan hati pada pemuda bernama Raldito Wiratama. Meski dari segi penampilan Raldi dikatakan biasa saja---dengan kulit kuning langsat sedikit kecoklatan, alis tebal bak ulat bulu, kumis tipis, serta gigi taring gingsul yang selalu menyembul malu-malu saat pemuda itu berbicara.

Belum lagi, kemampuan akademik Raldi yang tidak semenonjol siswa berprestasi lain di SMA Dharma Bakti.

Berkat pembicaraan panjang di perpustakaan, Shafiya sadar sekarang, Raldi itu tidak apatis, dia hanya idealis. RSi Aktivis Muda yang memotivasi Shafiya dengan pemikiran perseptifnya. Dan, akan selalu seperti itu.

***

Shafiya's Note

Gue tahu sekarang. Raldi yang awalnya kaku parah bisa terbuka kalau kita ngomongin hal yang dia sukain.

Raldi suka apa? Biar gue tulis:
1. Politik
2. Filsafat
3. Sejarah
4. Seni
5. Sastra (non novel romance)
6. Antropologi
7. Sosiologi

Sedangkan gue sukanya:
1. Novel romance
2. Novel romance
3. Raldi.

Sepertinya, gue harus membuat perubahan....

***

a/n

Chapter kali ini penuh adegan Raldi dan Shafiya dududu~

Next chapter, kita bakal kenalan sama si anak baru Gistav, hubungan Agam dan Raldi, Auden dan Shafiya yang saling berantem gemes.

Dan kira-kira, apa hubungan Gistav dengan Bang Agam? 😅 kok Bang Agam sampe nanyain? Kenapa tau-tau pas jadi anak baru Raldi langsung akrab gitu sama Gistav ya?

Yuk, kita pecahkan teka-teki ini bareng-bareng. See u on next chapterrr

Tertanda,
Diffean (yang sebenernya lebih suka dipanggil Fean)

Panduan Mendekati GebetanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora