Bagian 5

17 5 6
                                    

"Enggak ada adegan peluk-peluk dari belakang ya Za!" Ucap Riko sesaat setelah Iza naik ke boncengan motor Riko. Jika saja Riko tidak memakai helm, sudah pasti Iza akan memukul kepalanya dengan keras. Supaya otaknya kembali ke tempat yang sebenarnya.

"Kok enggak pakai jaket? Jangan ngarep Gue mau minjemin Lo jaket ya! Biarpun ada hujan badai atau Lo hampir beku karena kedinginan nanti, enggak bakal Gue pinjemin ini jaket!"

"Enggak bakal Gue pinjem jaket Lo! Lagian cuacanya cerah, enggak hujan," ketus Iza. Kesal sekali rasanya mendengar ocehan Riko.

Riko mulai melajukan motornya, awalnya lambat tapi semakin lama semakin cepat. Cepat sekali. Iza sama sekali tidak merasa takut dibonceng dengan kecepatan tinggi seperti ini. Dia sudah terbiasa menaiki kendaraan dengan kecepatan tinggi. Motor matic yang sudah dimodifikasi milik Riko banyak menyalip kendaraan lain.

Iza membelalakan matanya saat Riko menghentikan motornya disebuah rumah makan sederhana. Sebenarnya mau Riko ini apa? Bilangnya mau ke rumah sakit eh malah berhentinya di rumah makan.

"Kok berhenti di rumah makan sih Ko?" Tanya Iza setelah turun dari motor Riko. Riko mengabaikan pertanyaan Iza, ia terus berjalan masuk ke rumah makan. Dengan langkah cepat Iza menyusul Riko, mesejajarkan langkah keduanya.

"Ko!"

"Apa sih Za?! Lo mau kemana emang?" Riko menghentikan langkahnya, berbalik badan menghadap Iza.

"Ke rumah sakit!" Iza menatap Riko tajam. Hidungnya kempas-kempis karena emosi, wajah Iza pun ssdikit memerah dibuatnya.

"Ini dimana?" Riko masih tetap terlihat santai menghadapi Iza yang seperti ingin mematahkan lehernya.

"Di rumah makan lah bego! Emang Lo kira ini dimana? Di kuburan apa di sel tahanan?!" Iza menjawab dengan nada tinggi. Tanpa sadar suaranya membuat beberapa pengunjung mengalihkan perhatiannya kepada mereka.

"Yaudah sih depannya sama-sama ada rumahnya. Rumah sakit sama rumah makan," jawab Riko santai. Tidak sadar jika jawabannya membuat amarah Iza semakin menjadi-jadi. Iza mengepalkan tangannya kuat, untuk menyalurkan emosinya.

Dengan paksa Riko menarik Iza ke salah satu meja. "Gue laper mau makan!" Ucap Riko.

Iza bangkit dari tempat duduknya. Namun lagi-lagi Riko mencekal pergelangan tangannya.
"Mau kemana?" Tanya Riko.

"Bukan urusan Lo!" Geram Iza. Riko masih tetap mencekal pergelangan Iza. Tidak memperdulikan tatapan mata Iza yang begitu tajam padanya.

"Makan! Gue enggak mau Lo pingsan di rumah sakit. Enggak usah bilang terima kasih, Gue enggak butuh."

Iza menganga dibuatnya. "Gue enggak laper Ko!" Tolaknya. Rasa lapar yang tadi pagi menyerang perutnya sudah hilang entah kemana. Yang ada hanyalah rasa bersalah pada Andin. Makanya Iza ingin segera pergi ke rumah sakit dan meminta maaf kepadanya.

"Gue enggak ngizinin Lo keluar dari sini sebelum Lo makan!" Riko tetap memaksa Iza untuk makan. Tadi pagi Iza hanya membuat mie untuknya saja, sudah bisa dipastikan tidak ada yang masuk ke perut perempuan itu selain air putih yang diminumnya.

"Mbak!" Riko memanggil salah satu pelayan.

"Mau pesen mie ayam. Sama..." Riko memberi kode ke Iza agar menyebutkan pesanannya.

"Samain aja mbak. Tapi yang ekstra pedas, sambalnya dibanyakin."

"Enggak usah mbak. Pedasnya standar aja," ucap Riko meralat pesanan Iza. Iza hanya diam terlalu malas untuk berdebat dengan Riko.

"Tumben enggak protes?"

"Males. Enggak ada gunanya juga," cibir Iza. Setelah itu terjadi keheningan diantara keduanya. Mereka sama-sama asik menunggu pesanan datang dengan diam. Tidak sengaja pandangan Iza jatuh pada meja yang berada di pojok ruangan. Meja yang ditempati satu keluarga kecil. Mereka tampak sangat bahagia. Pamandangan ini membuat luka di hati Iza kembali terasa perih. Iza pernah ada di posisi seperti mereka. Memiliki keluarga lengkap, kasih sayang yang begitu besar untuknya. Namun sayang, semuanya hanya tinggal kenangan. Entah kapan lagi ia bisa merasakan memiliki keluarga yang lengkap seperti dulu.

Tangan Riko terulur memberikan tisu kepada Iza. "Nih pake!"

Iza mengalihkan pandangannya ke arah Riko. "Buat apa?" Tanya Iza. Jika kalian berpikir Riko memberikan tisu untuk menghapus air mata Iza, kalian salah. Iza sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Dia sudah cukup tegar menghadapi hal ini. Dulu, Iza sudah cukup kuat menangis. Sekarang bukan saatnya lagi.

"Buat lap iler Lo."

"Ngaco! Gue enggak ileran ya!"

"Gue tau. Mungkin Lo udah cukup kuat buat enggak ngeluarin air mata lagi. Tapi enggak nutup kemungkinan Lo malah netesin air liur karena saking pengennya kembali ada di posisi itu." Kata-kata Riko seakan menampar Iza. Tidak bisa dipungkiri Iza memang sangat menginginkan kembali berada di posisi seperti mereka. Tapi waktu enggak akan pernah berjalan mundur. Kenyataan lah yang harus ia hadapi, bukan terkurung dalam kenangan indah di masa lalu.

"Kapan Lo mulai masuk sekolah?" Tanya Riko.

Iza tampak berpikir sebentar, sebelum menggelengkan kepalanya pelan. "Gue mau keluar," jawab Iza lesu. 

"Keluar dari sekolah yang ini? Lo mau pindah sekolah kemana?"

"Gue enggak pindah sekolah. Gue mau keluar, enggak sekolah lagi."

"Enggak! Lo harus tetep sekolah Za!"

"Enggak ada gunanya Ko! Percuma Gue sekolah!" Ucap Iza. Matanya nampak menerawang ke depan.

Baru saja Riko hendak menimpali ucapan Iza, kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanan mereka membuatnya kembali menutup mulut.

"Makan dulu Za!" Iza menoleh ke Riko, lalu pandangannya beralih ke mangkuk mie ayam yang ada di depannya.

Segera Iza memakan mie ayamnya, semakin cepat ia selesai semakin cepat juga ia ke rumah sakit.

"Santai aja Za! Lama-lama ketelen itu mangkuknya," cibir Riko saat melihat cara makan Iza yang sangat terburu-buru. Iza mengabaikan Riko, mulutnya sibuk ia gunakan untuk menghabiskan mie ayam.

Benar saja. Tidak lama dari itu, mangkuk Iza sudah bersih, hanya tersisa kuahnya saja. Tangan Iza terulur mengambil tisu untuk membersihkan bibirnya.

"Cepet habisin ko!" Perintah Iza saat matanya melihat mangkuk Riko yang masih banyak terisi.

Riko menyudahi kegiatan makannya tanpa menghabiskan mie ayam di mangkuk. Ia segera memanggil pelayan untuk membayar.

"Kok enggak dihabisin?" Tanya Iza setelah pelayan pergi.

"Udah kenyang," sahut Riko. Ia kembali mengenakan jaket yang sebelumnya ia lepaskan karena panas.

Riko berjalan keluar, Iza segera berdiri untuk menyusul Riko.
"Jalannya jangan cepet-cepet dong Ko!"

"Kenapa? Lo pengen kita jalannya sampingan? Biar dikata so sweet? Biar orang ngira kalo kita pacaran?" Riko berhenti, kemudian membalikkan badannya ke arah Iza. Sebelah sudut bibirnya terangkat, ditambah alisnya yang naik turun. Ekspresi yang sangat menyebalkan.

Iza tersenyum. Berjalan mendekati Riko.
"Rasain!" Iza memilin telinga Riko.

"Aaa! Sakit bego!" Raung Riko, tangannya berusaha menyingkirkan tangan Iza dari telinganya. Iza tersenyum puas mendengar Riko mengaduh kesakitan.

Setelah dirasa cukup puas, Iza melepaskan tangannya. Berjalan meninggalkan Riko menuju parkiran.

"Untung sa-" Riko tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahnya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Segera dia berjalan menyusul Iza sembari mengelus telinganya yang memerah.

***
TBC
Give me vote and coment
Lampung, 10-7-2019

EscapeWhere stories live. Discover now