Jujur saja, Pijar sebenarnya juga enggan mencampuri urusan percintaan orang lain. Tapi karena ada satu hal yang berkaitan dengan kedua adik kelasnya itu, mau tak mau Pijar harus rela menjadi sosok 'kepo' untuk sementara waktu.

"Berarti sekarang ada alasan buat kamu move on dong," tukas Pijar penuh penekanan. Seperti ingin memberi sugesti pada Vanila agar menjauh dari Brilian.

Di sampingnya, Vanila mengerutkan kening. "Move on?"

Pijar mengangguk semangat. "Mau aku kenalin temen-temenku? Ada Andre sama Willy. Dua-duanya baik, kok. Kamu kenal mereka, kan? Kadang sering ke kantin bareng aku."

"Kak Andre sama Kak Willy? Kayaknya biasanya mereka bertiga deh, Kak. Kok yang disebut cuman dua?" Vanila menaikkan sudut bibirnya. "Oh, khusus Kak Heksa disimpen sendiri, nih."

Sepasang tangan Pijar mengibas-ngibas. "Eh, bukan gitu maksudnya. Emm, soalnya tu -"

"Iya iya Kak, aku tahu kok," tukas Vanila yang paham dengan reaksi Pijar. "Kakak tenang aja, Kak Heksa itu bukan tipeku."

Sepasang mata Pijar tiba-tiba terlempar ke arah lain. Tatapannya memicing, namun ia masih berusaha fokus memperhatikan Vanila yang terus mengoceh.

"Soalnya Kak Heksa tu bawel, songong, udah gitu galaknya minta ampun!" tukas Vanila sambil bergidik. "Kalo pas marah, matanya nyampe ilang. Tapi tetep aja tuh dia masih aja ngoceh. Padahal bisa aja kan, yang diamuk sama dia udah kabur duluan."

Bola mata Pijar mengerling ke atas kepala Vanila. Tatapannya naik turun. Wajah datar itu mendadak tampak gelisah, seperti ingin memberi kode pada Vanila namun ocehan adik kelasnya itu sulit untuk dihentikan.

"Oh, jadi gue sombong, sok ganteng, galak, terus apalagi tadi? Mata gue sipit? Ini bukan sipit, tapi minimalis."

Suara toa yang muncul di belakang Vanila, membuat gadis itu meneguk ludah. Belum sempat menoleh, telinganya sudah menjadi sasaran empuk kemarahan Heksa.

"Coba ulangi sekali lagi," ucap Heksa sinis, sembari tetap menjewer telinga Vanila. "Untung aja ya lo pake masker. Kalo nggak, udah gue sumpel mulut lo pake kaos kaki Willy yang belum dicuci seminggu."

"Aduh, Kak. Sakit banget ini, aduh." Vanila mengusap-usap telinganya, mencoba menyingkirkan tangan Heksa. "Kalo nggak dilepas juga -"

Sengaja, Vanila menjeda ucapannya lalu menghujamkan tatapan tajamnya pada Heksa. Ia ingin membuat Heksa teringat kejadian beberapa hari yang lalu, saat cowok songong itu menjadi korban sumpah serapahnya.

"Eh, iya iya. Nggak usah lo terusin!" cegah Heksa panik lalu menurunkan tangannya.

Vanila mendengus kasar. Mulai jengah menghadapi dua kakak kelasnya yang tiba-tiba saja seperti mencoba lebih dekat dengannya.

"Emm, kamu mau pulang bareng kita?" tawar Pijar ramah pada Vanila.

Heksa yang berdiri di depan keduanya, langsung mencak-mencak ke Pijar. "Heh, mobil yang kita pake buat balik itu mobil gue. Kok lo yang sok-sok an nawarin dia buat balik bareng?"

Awalnya Vanila pikir, penyiksaan pada telinganya  tidak akan berkesudahan. Namun ternyata Tuhan masih memberinya pertolongan.

Mobil milik Key tampak baru saja memasuki gerbang sekolahnya lalu berhenti di salah satu sisi parkiran yang kosong.

"Eh, BangKey!" Karena terlampau senang, Vanila setengah memekik lalu bangkit dari duduknya.

"Heh, bocah. Lo ngatain gue bangke?" tukas Heksa yang entah sebab apa tersinggung sendiri.

"ABANG GUE NAMANYA KEY, BANG. YA LORD, SEMOGA BANGUN-BANGUN RAMBUT LO JADI KRIBO NGEMBANG!" balas Vanila geregetan lalu berlari kecil menuju mobil Key yang terparkir tidak jauh dari tempatnya.

VaniLate (SELESAI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora