PART 9 : MENGALAH

Start from the beginning
                                    

Dan benar saja, baru sedetik Willy menutup mulut, Heksa tampak bersiap mencekik lehernya.

"Gue cemburu? In Your Dream," jawab Heksa lalu menonyor jidat Willy. "Gue cuma takut aja bocah ini kena jampi-jampinya Si Zombie."

Sepasang alis Brilian bertaut. Tak paham dengan ucapan Heksa. "Jampi-jampi? Maksudnya?"

Heksa melangkah mendekati Brilian lalu berbisik, "dia itu punya kekuatan mistis. Lo bisa aja dikutuk jadi batu kayak Maling kundang."

Dengan bodohnya Brilian merespon, "tapi kan Kak Pijar bukan emak gue, Bang. Mana bisa kutuk gue jadi batu?"

Heksa berusaha melotot agar tampak garang. Namun yang terjadi, Brilian hanya menunjukkan wajah kalem tanpa dosa.

"Bri!" Vanila memanggil Brilian sambil mendorongnya kencang. "Lo kok ninggalin gue, sih?"

"Lah kan tadi lo yang lari duluan, terus gue ngejar lo, malah gue jadi tubrukan sama Kak Pijar." Brilian melirik sekilas ke Pijar yang anehnya tidak lagi menundukkan pandangan.

Bahkan sesekali gadis itu tersenyum dan berani menatapnya dengan bola mata melebar. Padahal sewaktu bertubrukan tadi, Pijar mati-matian menghindari kontak mata dengannya.

Kenapa semua rasanya jadi aneh, ya?

"Nah! Nah! Ini dia cewek yang juga
bisa jampi-jampi orang!" teriak Heksa heboh, membuat orang-orang di sekitarnya ingin sekali menyumpal mulutnya.

"Lo anak kelas satu yang waktu itu dihukum bareng gue terus jampi-jampi gue, kan?" tanya Heksa. Telunjuknya teracung di depan wajah Vanila yang menatapnya bingung.

Memang menurut Heksa, Vanila berbeda dengan kebanyakan murid lainnya. Heksa berdecak, mengamati Vanila dari ujung rambut sampai kaki. Bingung bercampur takjub.

Masa iya yang kemarin dialaminya hanya kebetulan saja?

"Kak, naksir Vanila? Liatnya gitu amat," celetuk Brilian. Walau awalnya takut melihat wajah garang Heksa, namun mulutnya gatal untuk tidak berkomentar. "Masih jomblo loh, Kak. Grab it fast!"

"Lo pikir gue baju yang dijual mbak-mbak olshop?" komentar Vanila sambil menyikut lengan Brilian. "Kalo gitu, kami berdua pamit dulu ya kakak-kakak yang baik hati kecuali..."

Vanila berhenti berucap sejenak lalu melanjutkan dengan wajah tengil, "kecuali Kak Heksa.... kabuuuuurr, Bri, lariiii!"

Secepat kilat, Vanila mengamit tangan Brilian lalu berlari kencang meninggalkan ke empat kakak kelasnya yang masih di tempat semula.

Di dalam hati Vanila terkekeh geli. Tidak takut mendengar sumpah serapah Heksa yang ditujukan kepadanya.

Namun ketika arah matanya tak sengaja mengering Pijar, senyuman Vanila tiba-tiba memudar. Entah sebab apa, Vanila merasakan jika Pijar tengah menatapnya dan Brilian dengan sorot iba.

"Stop!" Brilian merentangkan sebelah tangannya, menahan pacuan langkah Vanila. "Itu Helen, kan? Gimana kalo gue kasih lukisannya sekarang?"
Vanila mendongak.

Tatapannya terlempar ke sosok gadis yang sedang melenggang dengan anggunnya menuju ke arahnya dan Vanila.

Mood Vanila yang sudah membaik setelah berperang dengan Heksa, mendadak kembali kelabu. Ia mendapati sorot mata Brilian yang teduh menatap Helen tanpa berkedip.

Kapan gue bisa ditatap Brilian dengan cara seperti itu?

Merasa sudah tidak lagi dibutuhkan, Vanila beranjak dari sana. Namun baru satu langkah menjauh, tangan Brilian tangkas menahannya.

VaniLate (SELESAI)Where stories live. Discover now