Takut-takut seorang pelayan, dari anak tangga mendekati Jooheon. Wajahnya yang pucat membuat darah Jooheon seakan mengalir keluar dari pembuluh darahnya. "Saya baru saja membawakan buah ketika anda menelpon. Saya. Saya hanya ..."

"Brengsek."

Pisau buahnya pasti tertinggal di dalam, ketika Changkyun memutuskan mengunci pintu lalu mengganjalnya dengan sesuatu. Oh, betapa bodohnya Lee Jooheon ini. Dia tidak mungkin hanya mondar-mandir di depan pintu seperti ini, lalu di dalam sana, mungkin Changkyun sedang sekarat. Atau dengan normal mengupas apel. Pilihan terakhir terdengar terlalu manis untuk menjadi kenyataan.

"Changkyun!"

"..."

Jooheon menggigir ujung bibirnya. Ragu-ragu. Lalu menghela napas putus asa.

"LEE CHANGKYUN, BUKA PINTUNYA!!!!"

"Ya Tuhan, aku bisa mati jika kau seperti ini terus."

"Jika kau mati, ibu pasti membunuhku."

"..."

"Baiklah, ayo kita mati bersama."

"Hei, ambilkan aku sesuatu yang bisa membunuh dengan cepat! Kau punya racun tikus?"

Jooheon dengan berharap menempelkan telinganya ke daun pintu. Dia memberi isyarat agar pelayannya pergi dengan buru-buru. Memperdengarkan suara keributan dan kepanikan yang dibuat-buat. Jooheon berharap otak jenius Changkyun sedikit bergeser agar dia tertipu kali ini. Sejujurnya dia tidak bisa memikirkan hal lain lagi.

"Joo...hyung!"

Jooheon hampir memekik saking girangnya. Dia menarik seorang pelayan ke sisinya dan menggerakkan dagunya menunjuk ke pintu. Jooheon hampir-hampir memukul pelayannya ketika tatapan tidak mengerti membalas isyaratnya. Jooheon mengatakan, 'katakan aku sudah pergi, pada dia' tanpa suara sambil menunjuk Changkyun di balik pintu dengan kelima jarinya.

"Tuan Jooheon sudah pergi ke dapur, saya tidak bisa menghentikannya."

Jooheon membulatkan mulutnya dengan dramatis. Kagum dengan pilihan kalimat pelayannya yang terdengar, oke, panik, ketakutan dan putus asa. Mungkin cocok digambarkan seperti itu. Jooheon tanpa sadar mengacungkan jempolnya sambil tersenyum berterima kasih.

Dari balik pintu, tanpa terduga, terdengar suara benda berat yang di geser menjauhi pintu. Suara slot kunci yang dibuka membuat Jooheon menahan napas. Mati-matian menahan diri tidak menerjang maju, atau dia akan menyakiti Changkyun tanpa sadar.

Mata Changkyun megintip dari celah daun pintu. Jooheon berdiri di sisi yang berseberangan, jadi dia tidak bisa melihat Jooheon yang pengap-pengap seperti ikan keluar dari air. Changkyun membuka pintu lebih lebar, lalu melongongkan kepalanya keluar.

"Joo hyung," panggilnya lemah.

Sekonyong-konyong, Jooheon sudah menerjang maju. Mendorong pintu dengan bahunya ketika dia menangkap pundak Changkyun dengan kedua tangannya. "Astaga. Apa yang harus aku katakan?"

Jooheon benar-benar tidak menemukan kalimat yang pas. Dia hanya memeluk Changkyun dan mengabaikan rontaan Changkyun yang begitu sia-sia.

"Jangan katakan dirimu kotor atau hina! Aku benci kata-kata itu. Berhenti mengucapkan kata maaf! Itu terdengar sangat menyakitiku lebih dari apapun. Kau ingin melupakan malam itu? Aku akan membantumu menghapus semuanya. Percayalah padaku."

Dia menggiring Changkyun ke tempat tidur. Di belakangnya pintu sudah tertutup. Jooheon tidak peduli siapa yang menutupnya. Dia hanya sibuk dengan Changkyun. Changkyunnya.

-

Changkyun meronta. Kakinya sibuk menendang dan tangannya mencakar dengan brutal. Dia menjerit kuat-kuat hingga dia kehilangan suaranya.

"Shhttt... tenang, ini aku Lee Jooheon. Changkyun, dengarkan aku! Hei! Buka matamu!"

Changkyun merasakan usapan yang lembut di bahunya. Juga di lengannya. Dia berhenti menendang dan mencakar, tapi masih menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri. Dia merasa terdesak. Dalam kepalanya, Changkyun sedang mencocokkan suara yang dia dengar dengan suara Jooheon yang dia ingat. Perlahan-lahan dia mengintip, mengamati dan mengingat-ingat. Lampu menerpa seraut wajah yang berjarak lima senti dari wajahnya. Dia bisa melihat rambut-rambut halus di dagu Jooheon. Melihat matanya yang berwarna coklat. Garis rahangnya yang terpantri sangat jelas dalam ingatn Changkyun. Ini Lee Jooheon yang asli. Changkyun seakan ditarik dari dalam air untuk meraup udara banyak-banyak setelah dihimpit.

Tangannya bergetar, kuku jarinya berdarah. Dia mungkin mencakar Jooheon. Changkyun mengelus pipi Jooheon yang memerah, terdapat bekas cakaran memanjang dari pelipis ke dagunya. Jooheon tersenyum, menggerakkan wajahnya untuk mengecup telapak tangan Changkyun.

"Lihat! Ini aku."

"Jooheon..."

"Ya, ini aku. Suamimu, siapa lagi?"

"Ak...ku..."

"Shttt..tenang! Aku tidak peduli tentang itu. Hei! Lihat aku! Lihat!"

Jooheon menggerakkan tangannya menyusuri tulang belikat Changkyun, lalu turun ke dadanya. "Ini tanganku. Oke?"

Changkyun mengangguk.

"Aku yang menyentuhmu malam ini. Bukan yang lain. Kau mengerti? Kita akan menghapus semua jejak itu dari tubuhmu. Hanya ada aku. Kau siap?"

"Kau menerimaku?"

"Tentu," Jooheon menjawab dengan yakin. Dia menciumi dada Changkyun selagi mata mereka saling mengunci. "Ini milikku," klaimnya.

Changkyun tersenyum penuh kelegaan yang meluncur seperti kekehan yang ditahan. Lalu mengalungkan tangannya ke leher Jooheon dengan antusias. Dia mengangguk kuat-kuat, dan dengan terburu-buru mendaratkan ciuman di bibir Jooheon. Singkat dan cepat.

"Oh, astaga. Mahal sekali ciumanmu itu," Jooheon pura-pura mengeluh, lalu menunduk untuk meraup bibir Changkyun sekali lagi. Lebih lama, lebih dalam.

END

.

.

Gimana menurut kalian?

Happy ending pertama....memuaskan kah? atau saya memang lebih bagus buat yang sadend?

Telling 'bout Us [JooKyun ] (End)Where stories live. Discover now