1 - Arkan dan Arsen

14.4K 1.1K 104
                                    

AROMA petrichor tercium sejak satu jam yang lalu, tapi barisan anak-anak tangguh itu tak mau diganggu sedikit pun dari ruang gerak mereka. Tak peduli bahwa bulir-bulir kristal dari langit telah bercampur dengan keringat, tak peduli bahwa kesadaran salah satu anggotanya tinggal seperempat. Semuanya diam, seolah bergerak itu sama seperti melempar granat.

"Jangan bergerak kecuali ada aba-aba dari saya!"

Pekik tajamnya tidak berubah, terus memaksa anak-anak yang berusia tak jauh dari dirinya agar terus berdiri tegap. Namun, ia tak ikut melakukan hal yang sama. Di sanalah ia duduk, di tepi lapangan, di atas kursi kayu sembari mengangkat satu kaki.

"Arkan! Kenapa pindah tempat? Suara saya kurang jelas? Jangan bergerak!" Yang dipanggil dengan nama Arkan mengeratkan remasannya terhadap jahitan pinggir celana yang biasa jadi patokan untuk bersikap sempurna. Sebetulnya, bukan dirinya saja yang berlaku demikian: gelisah, dan tidak bisa diam. Hanya saja, di mata Galaxy —senior yang baru saja meneriakinya itu, Arkan selalu bersalah.

"Kalian sudah kelas sebelas, sebentar lagi kalian yang memimpin Barananta, menggantikan saya. Kenapa sampai saat ini masih belum bisa berubah? Egois, apatis, tidak tahu diri!"

Arkan mengatur deru napasnya susah payah. Anak itu tak kuasa kalau harus berdiri lebih lama, Galaxy terkenal dengan gaya kepemimpinan yang terlalu kasar dan keras. Didikan fisik dan mentalnya terkadang melebihi batas.

"Arkan! Kamu ini kenapa? Sakit? Pergi saja dari sini kalau merasa sakit atau sedang pura-pura sakit, saya tidak mau memiliki anggota yang penyakitan dan suka sandiwara. Lemah!"

"Kak Cindy." Seorang anggota perempuan yang merasakan hal serupa memberanikan diri untuk mengangkat tangan kecilnya, kebetulan sekali ada senior yang lewat di dekatnya.

"Ya, Siwi? Kenapa? Kamu sakit juga?"

"Saya minta izin untuk duduk, Kak, berdiri seharian di bawah terik dan hujan cukup melelahkan."

"Galaxy, ada yang minta duduk, nih!"

Laki-laki itu melongok, menatap Siwi penuh arti dengan alis yang bertaut tajam.

"Ternyata kalian semua payah. Baru berdiri sebentar saja sudah merasa lelah! Saya dulu hormat bendera seharian saja bisa."

"Kalau salah satu dari kami sakit, memangnya Kakak mau tanggung jawab?"

"Siapa yang memberi izin untuk bicara, Arkan?"

Arkan menaikkan sebelah alisnya. "Saya sedang bertanya, mohon dijawab dulu. Memangnya kalau salah satu dari kami sakit, Kakak bersedia untuk tanggung jawab? Tolong jangan mengalihkan topik."

Galaxy menarik kerah Arkan hingga anak itu sedikit berjinjit dan keluar dari barisannya. "Kurang ajar! Kamu berani sama saya? Maju sini!"

"Apa mengutarakan pendapat itu tidak boleh?"

"Kamu belum dapat izin dari saya untuk berbicara!"

Arkan berusaha melepas cengkraman Galaxy yang kian kuat mengangkat tubuhnya. "Kakak ini pemimpin, panutan kami. Harusnya Kakak bisa menjadi contoh yang baik, seperti mendengar keluh kesah anggotanya, mengayomi, dan tidak mudah tersulut emosi. Setengah dari kami adalah perempuan, setangguh apa pun mereka, kekuatan fisik kami tetap berbeda."

Serta merta Galaxy mencetak memar pada pipi Arkan. Anak itu masih berusaha mengatur napasnya yang berantakan karena termakan amarah. Tuhkan, dia saja baru berbicara beberapa kata. Sekarang sudah ada bekas merah di mukanya.

"Duduk!" Remaja yang baru naik ke kelas dua belas itu melepas cengkeramannya dengan kasar. Pleton di hadapan akhirnya dapat duduk dan menghela napas lega.

Barananta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang