06

14.2K 725 2
                                    

~Happy Reading~

Wulan berjalan ke arah rumahnya dengan masih memegangi bibirnya, hingga tak sadar telah sampai ke dalam.

Wira yang sedari tadi gelisah menunggu Wulan, langsung berjalan menghampiri Wulan yang baru saja memasuki rumah.

"Wulan, lo gak diapa-apain kan sama cowok gila itu?" Tanya Wira dengan nada yang sarat akan kecemasan.

Wulan yang tadinya melamun memikirkan Adam, kini kesadarannya kembali kala kakaknya melempar pertanyaan padanya.

"Itu, luka lo harus diobatin." Sebenarnya Wulan tak mendengar dengan jelas apa yang ditanyakan Wira padanya, hingga fokusnya teralih pada lebam wajah lelaki itu.

Wulan menyuruh Wira untuk duduk di sofa ruang tamu, kemudian ia mencari kotak yang berisi obat dan alat yang bisa ia gunakan untuk mengobati luka kakaknya, setidaknya ada untuk meminimalisir rasa sakitnya.

Wulan kembali dan duduk di hadapan Wira. Tak ada percakapan diantara keduanya, selain suara ringisan Wira yang merasakan perih pada lukanya.

Wulan menyudahi acara obat mengobatinya, membereskan sisa-sisa kapas yang ia gunakan untuk membersihkan darah yang keluar dari luka kakaknya, dan tak lupa membereskan juga obat yang telah ia gunakan.

Wulan baru saja akan beranjak dari duduknya, sebelum Wira memanggilnya.

"Wulan," ada sedikit rasa canggung yang tersirat dari suara Wira.

Wulan menatap Wira dengan tatapan bertanya. "Iya, kenapa?"

"Salah gue sama lo apa sih?"

Wulan mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Wira. "Maksudnya?"

Wira menghembuskan napas pelan. "Gue liat lo kesel sama gue, apa karna gue yang terlalu lama ninggalin lo?"

Baru setelah Wulan mendengar penuturan Wira, ia mengerti dimana arah pembicaraan kakanya. "Itu kakak tau! Ngapain nanya lagi!" Ketus Wulan melipat kedua tangannya di depan dada.

Wira menatap sendu ke arah Wulan, "Wulan, lo kan bukan anak kecil lagi, lo kan tau sendiri, kita itu sekarang udah gak punya siapa-siapa lagi, kalau bukan gue yang kerja, yang biayain hidup kita siapa? Lagian lo kan juga kuliah, dan itu butuh biaya, untung almarhum ayah masih punya perusahaan yang bisa gue kelola," jelas Wira yang entah sejak kapan kini tengan memegang kedua telapak tangan Wulan, mengelusnya dengan lembut, berharap Wulan mau mengerti.

"Iya iya, gue tau, tapi apa susahnya, kakak pindah kerja ke sini, gak usah ke luar kota segala,"

"Bukannya lo seneng kalau gue gak ada? Kan gak ada yang ngelarang lo ngelakuin ini dan itu dan lo bisa bebas,"

Raut muka Wulan yang semulanya menatap Wira kesal, kini menatap lelaki itu dengan tatapan tak suka. "Ya udah, lo pergi aja sana, yang lama! Kalau perlu gak usah balik-balik lagi!" Wulan menyimpan kotak berisi obat luka itu di atas meja berada di dekatnya. Cewek itu bangkit dan berjalan dengan cepat menjauh dari Wira.

"Wulan, dengerin gue dulu, jangan gini dong, gue tu gak tau mau lo apa, kalau lo cuma bisa ngambek gak jelas, tanpa ngomong salah gue apa?!"

Wira mengejar Wulan yang sudah menaikki anak tangga. "Jelasin ke gue, mau lo apa sih, Wulan? Jangan buat gue bingung!" Wira meraih pergelangan tangan Wulan.

"Udah, lo gak usah sok bingung," Wulan menghempaskan tangan Wira kasar dan berlari ke arah kamarnya, dan segera menutup dan menguncinya.

Wira yang kurang cepat dalam mengejar Wulan, membuat lelaki itu mengetuk pintu kamar Wulan berulang kali, namun tak ada sahutan apapun yang ia terima dari Wulan.

***

Adam baru sampai di kediamannya, saat jam hampir menunjukkan angka dua belas. Dan disambut oleh raut cemas Ana kakaknya yang mondar-mandir gelisah di depan pintu.

Ana yang melihat kedatangan Adam, langsung berlari ke arah adiknya. "Lo kemana aja sih?" Tanya Ana cemas. "Ya ampun itu luka lo kenapa?! Lo berantem lagi?!"

Ana menarik Adam untuk segera masuk ke dalam rumah, dan segera mengobati luka lebam adiknya.

"Adam, udah berapa kali gue ingetin, buat berhenti berantem gak jelas!" Kesal Ana.

Adam memnghentikan pergerakan Ana yang tengah mengobatinya. "Lo gak usah ngobatin luka gue, kalau gak ikhlas. Gue gak butuh!"

"Aish, bukan gitu maksud gue, Adam,"

"Tapi gue nangkepnya gitu! Lagian gak ada urusannya juga sama lo!"

"Jelas ada Adam, lo kan saudara gue,"

"Saudara tiri! Udah lo gak usah sok peduli!"

"Adam, berhenti bersikap kekanak-kanakan! Lo sama gue udah sepakat buat gak ungkit masalah itu lagi," Ana menghembuskan napas pelan. "Lagian cinta di antara kita itu udah gak ada, dan lo udah setuju akan hal itu," lanjutnya.

Adam menatap tajam ke arah Ana. "Siapa bilang ada cinta di antara kita? Mungkin di sini cuma lo yang ngerasain cinta itu sendiri. Dan asal lo tau, sekarang gue udah temuin cinta gue yang sesungguhnya,"

"Maksud lo?"

"Yah, gue itu cuma main-main sama lo, gue gak pernah cinta apalagi suka sama lo, gue cuma pengen balas semua rasa sakit yang almarhum ibu gue dapet dari nyokap lo, dengan nyakitin lo! Lagian bibirnya Wulan terasa lebih manis dari bibir lo,"

Plak.

"Dasar brengsek! Lo itu gak punya hati!"

Adam memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang ia terima dari Ana. Lelaki itu menatap Ana tajam. "Gue emang gak punya hati! Dan itu salah lo sendiri karna masukin ke hati lo, setiap gue lakuin hal manis ke lo!"

My Childish Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang