1-7 : Kangen Abah

430 47 6
                                    

"Kenapa kak?"

|GUE MENAANGGG!!!

"Iya? Selamaaatt!!!"

|Mau ngabarin itu aja sih hehe. Entar kalo udah balik ke pelatnas gue traktir. Dadah sayangkuuuu.



Aku masih berdiam diri di kamar, memeluk foto abah yang tengah merangkulku saat aku berhasil masuk tim SGS dulu. Tidak ada bulir air mata. Hanya sedang bingung harus mengadukan keluhanku pada siapa. Sebab dulu, abah lah yang mengambil peran itu. Senantiasa hadir tanpa diminta, tepat saat aku butuh teman untuk bercerita.

Acara bakar-bakaran untuk makan malam sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, tanpa aku tentunya. Beberapa kali kak Adel maupun teh Susan datang ke kamar, sekedar mengecek apa yang aku lakukan. Masih sama. Aku masih duduk di lantai, menyandarkan punggung pada pinggiran kasur, dengan pandangan kosong ke jendela yang mengarah ke kolam ikan di belakang vila.

Entah keberanian dari mana aku membiarkan gorden tetap terbuka padahal hari sudah gelap.

Meski begitu, ayam dan jagung bakar yang dibawa dua wanita tadi sudah tinggal piringnya saja. Aku tidak akan membiarkan perut ini kelaparan kala sedih melanda.

Menengok jam yang ternyata sudah menunjuk pukul 1 dini hari, aku melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu sholat. Kali ini aku tidak bisa mencegah tangis yang keluar tepat di sujud pertama. Beban pikiranku seolah menjadi ringan. Sebab itu setelah menuntaskan dua rakaat, aku kembali sujud, mencurahkan segala beban dalam pikiran pada Sang Pencipta.

Sebuah ingatan hadir menyapa. Tentang abah yang pernah mempercayakanku pada seorang Diaz, tanpa mengatakan restu. Aku baru menyadari bahwa abah menitipkan ku pada pria itu hanya untuk dijaga, karena hanya dia laki-laki yang bisa diandalkan untuk menjaga cucunya saat dirinya sakit.

Dan sebuah kalimat yang pernah ku dengar saat abah mengajak Diaz menanam bunga matahari di depan rumah.

"Mentari itu kayak bunga ini," katanya, "Sulit ditanam, cocok-cocokan. Begitu berhasil berbunga bakal cantik banget. Tapi juga gampang diambil orang."

Beliau menyempatkan untuk melirikku yang kala itu duduk di teras, memakan bakwan buatan nenek sambil mengerjakan latsol yang diberikan Diaz. Bakwan terenak yang pernah aku makan.

Ah, kita bukan membicarakan bakwannya. Tapi tentang kalimat yang diucapkan abah setelahnya.

"Abah nggak mau pemilik aslinya kesusahan nyari dia. Atau bahkan nemuin dia tapi udah dimilikin orang lain. Yang paling pantes milikin bunganya udah ada, abah langsung yang pilihin."

Apa itu tandanya, perjodohan ini sudah ada sedari aku masih sekolah? Lalu kenapa abah membiarkanku semakin dekat dengan pria yang ujungnya memberikan luka untuk bunganya ini?

Lalu dering telepon membuatku terpaksa bangkit. Dari Ajay.

"Hm?"

|Alhamdulillah lo masih idup.

"Maksud?"

|Gue nggak sengaja liat lo sujud lama banget dari jendela. Takutnya lo innalilahi gara-gara syok.

Pandanganku beralih ke jendela. Seorang pria berkaos Barcelona berdiri di luar, dengan tangan yang detik itu juga melambai. Masih dengan senyum yang membuat barisan giginya terlihat.

"Lo nganggur?"


🌻🌻🌻


Adel dibuat panik setengah mati karena Mentari tidak ada di kamar. Kepanikannya menjadi-jadi saat mengetahui mobil sang adik juga tak lagi di bagasi. Kalau terjadi apa-apa pada bocah itu, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Nawi tanpa diminta sudah lebih dulu menanyakan pada pemilik vila. Jawabannya tak kalah membuat Adel semakin takut.

"Tadi Subuh saya denger ada orang kecebur di sungai deket sini, belum tau siapa tapi."

Kehadiran Susan juga tidak banyak membantu, karena wanita itu juga sedang mencari adiknya yang ikut menghilang. Kedua ibu satu anak itu beranggapan kedua adiknya merasa tertekan dengan perjodohan kemarin.

Hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan vila ketika jam menunjuk pukul 6. Mobil Mentari, namun di kemudikan Fajar. Begitu keluar dari mobil, pria 24 tahun itu beralih untuk membukakan pintu penumpang lalu menggendong seorang Mentari yang matanya tertutup sempurna.

"ADEK GUE KENAPA, JAR?!" teriak Adel setelah Mentari dibaringkan di kasur. Tangisnya pecah.

"Nggak papa kok, Del. Dia cuma-

"CUMA APA? LO APAIN ADEK GUE SAMPE KAYAK GINI!" Teriakan Adel untuk kedua kalinya itu membuat gadis yang terbaring di depannya menggeliat, lalu pelan-pelan membuka mata. "Tari? Lo gapapa kan?"

Yang ditanya hanya mengernyitkan dahi. Matanya berpendar melihat wajah-wajah seisi ruangan yang khawatir, terkecuali Fajar yang menutup mulutnya--menahan tawa.

"Nggak papa lah? Gue ngapain emang?"

Adel masih dengan raut cemasnya, "Ya elo dateng-dateng digendong Fajar masuk. Pingsan gara-gara apa?"

Saat itu juga Fajar tidak sanggup menahan tawanya lagi. Yang semakin terbahak-bahak setelah Mentari menentang pernyataan sang kakak, "Gue ketiduran tadi. Ajay aja tuh modus pake digendong segala."

Jawaban yang membuat Adel kesal hingga memukuli lengan dua orang di depannya. Namun terhenti saat menyadari rambut sang adik yang basah. "Lah ini basah kenapa?"

"Itu tadi...," Mentari menggantung ucapannya. Takut wanita di depannya semakin meledak-ledak. "Tadi kecebur di sungai.... abis ini temen lo iseng banget ngajak nangkep ikan padahal gelap. Kepereset dah berdua. Untung di mobil ada jaket sama baju, gue pake bajunya dia pake jaket gue. Trus numpang ganti sekalian subuh an di masjid."

Susan yang sedari tadi hanya menyimak pun akhirnya unjuk suara. "Kalian keluar berdua tanpa bilang siapa-siapa juga ngapain? Kemaren aja kayak orang nggak kenal."

Membuat dua insan di depannya terdiam, melirik satu sama lain. Baru saat Fajar berdeham, Mentari mulai bersuara. "Tari kangen abah...." Jawaban yang berhasil membuat lirikan tajam Adel meredup. Apa yang dirasakan adiknya tak lama ini juga ia alami.

Hanya dengan begitu, Adel mulai memeluk adiknya. Menumpahkan air yang sempat tertahan di pelupuk mata. Disaksikan oleh tiga orang dewasa yang hanya terpaku melihat betapa rapuh pasangan kakak beradik itu.

Tangan Susan bergerak untuk mengelus pundak keduanya, dengan harapan dapat menyalurkan kekuatan. Yang justru membuatnya terbawa suasana hingga nyaris menangis andai suaminya tidak menepuk pelan bahunya.

"Mau ke makam abah boleh ngga kak?" tanya Mentari setelah tangisnya mereda. Setelah mendapat persetujuan dari kakaknya, ia lanjut berbicara. "Sama Ajay."

Yang disebut namanya mengangguk setuju. Sementara Adel balik bertanya sambil menghapus sisa-sisa air mata. "Sama kakak aja."

"Gue mau minta restu abah masa nggak boleh dah, aneh lu," sarkas Fajar membuat Susan melayangkan pukulan ke punggungnya.

"Resta restu, Tari aja ogah sama lu. Stres adek gue ntar." Giliran Nawi buka suara. Pria itu sedari tadi diam di dekat pintu, khawatir Khay yang tidur di kamar sebelah tiba-tiba menangis.

"Yang bilang gue nggak mau siapa?"









5-2, 120319

𝘿𝙞𝙛𝙛𝙚𝙧𝙚𝙣𝙘𝙚 | Lagi Di RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang