1-1 : Sebuah Luka di Masa Lalu

512 60 0
                                    

(Kembali mengingatkan bahwa cerita ini berlatar tahun 2019 ya!)

🌻

Saat itu, tiga tahun yang lalu, usiaku masih 16 tahun. Aku yang sedang latihan bersama timku--SGS PLN sepulang dari sekolah tiba-tiba saja mendengar rumor bahwa adik dari seniorku, entah siapa, menaruh hati padaku. Tentu tidak ku percayai, lagipula aku terlalu masa bodoh untuk mengurusi percintaan.

Yang aku inginkan hanya segera lulus, lalu dipanggil pelatnas. Demi membanggakan Mama dan Papa yang tidak lagi tinggal bersamaku.

Rumor itu terus berkembang, hingga rasanya sangat jenuh karena sering disebut memiliki masa depan menjanjikan sebab 'katanya' pria yang menyukaiku merupakan penghuni pelatnas dengan prestasi yang bagus.

Hingga suatu hari, selepas turnamen intern yang mempertemukan seluruh klub badminton di Bandung, aku yang berniat ingin segera pulang karena merasa lelah bertemu dengan seorang pria berkumis tipis tengah berbincang bersama kak Adel dan teh Hanin-- seniorku, di parkiran.

"Diaz. Who love you from the first time we met." ucapnya waktu itu. Membuat badanku rasanya meremang saat menjabat tangannya. Detik itu juga aku tau, dia lah pria yang dimaksud dalam rumor. Adik dari teh Hanin, penghuni sektor tunggal putra pelatnas.

Semenjak itu kami menjadi dekat. Tak jarang aku diajak berkunjung ke rumahnya, begitupun sebaliknya. Ia juga sudah mengenal abah dengan baik. Meski begitu, tidak ada yang spesial dari hubungan kami.

Di tahun berikutnya, aku mulai disibukkan dengan bermacam ujian jelang kelulusan. Kak Diaz mengajukan diri untuk menjadi guru privatku di sela jam-jam latihannya. Setiap selesai belajar, ia akan menyempatkan untuk menemani abah di teras, entah berbincang apa.

Tanpa sengaja, aku mendengar obrolan mereka di suatu malam, bahwa abah mempercayai kak Diaz untuk menjagaku sebab kak Adel yang sudah menikah berencana tinggal bersama bang Nawi di kota sebelah. Abah yang mulai sakit-sakitan, menepuk pundak kak Diaz yang tengah bersimpuh di hadapannya sambil berkata, "titip si bontot ya, nak."

Bulan demi bulan berlalu, aku dan kak Diaz semakin dekat sebagai seorang murid dan gurunya--setidaknya itu status yang menurutku paling pas. Sebab waktu kami sebagian besar dihabiskan untuk belajar bersama.

Sampailah hari dimana tepat 17 tahun aku hidup. Yang juga merupakan hari pertama ujian nasional. Namun bukannya mendapat hadiah, aku justru menerima kabar bahwa abah mengalami kecelakaan saat akan menjemputku.

Aku masih ingat betul bagaimana abah berbaring ditemani alat pendeteksi detak jantung. Derai air mata berusaha ku tahan saat menginjakkan kaki di depan pintunya. Namun niat untuk masuk tertunda sebab melihat kak Diaz tengah berlutut di samping ranjang abah.

"Udah lama, Bah. Saya sempat bilang ke dia, tapi nggak dijawab. Saya sampe pengen nyerah," ia menjeda ucapannya, "Tapi begitu dapet kesempatan buat ngajar Tari... saya rasa Allah ingin saya berjuang, setidaknya memastikan bagaimana hubungan kami selanjutnya."

"Mau dipastiin sekarang?" tanya abah. Netranya kini menangkapku di balik pintu yang setengah terbuka. Sepertinya beliau menyadari kedatanganku dari tadi.

Kak Adel dengan mata yang bengkak menggiringku ke sisi lain ranjang abah, berhadapan dengan kak Diaz. Tangan abah yang dipasangi infus menggenggam lembut jemariku. Tatapan kami bertemu, dan aku menemukan keteduhan disana. Tanpa perlu meminta pertanyaan diulang, aku menjawab, "Tari masih labil, kak. Belum bisa dibawa ke hubungan yang serius. Perasaan bukan untuk dipermainkan, tapi untuk ditetapkan. Dan Tari belum merasakan itu ada di diri kakak...."

Jeda ku ambil. Suara kipas dan elektrokardiograf (EKG) lah yang kini mengisi ruangan. Dengan tekad yang berusaha ku bulatkan, aku menyatakan, "Tari mau belajar menetapkan perasaan ke Kakak."

𝘿𝙞𝙛𝙛𝙚𝙧𝙚𝙣𝙘𝙚 | Lagi Di RevisiDär berättelser lever. Upptäck nu