0-9 : Tempat Ternyaman

564 60 8
                                    

"Menurut surat yang ditulis Kakek anda ini, salah satu cucunya harus menemui kawan lamanya yang berada di Bandung."

"Kenapa cuma salah satu?"

"Tertulis seperti itu. Mungkin ini terkait sesuatu yang diketahui kawan kakek anda."

Beberapa menit kemudian, berakhirlah perbincangan antara Adel dan seorang notaris kepercayaan mama dan keluarganya. Setelah mengantarkan pria tadi, Adel sesegera mungkin mempersiapkan diri untuk berangkat ke kota kelahirannya.

Ini adalah permintaan terakhir kakeknya yang dititipkan ke sang mama, dan keduanya belum sempat menyampaikan bahkan sampai di akhir hayat mereka. Adel merasa harus menuruti apapun yang diminta teman dari kakeknya itu.

Setelah beberapa baju dan keperluan Khayla siap, keluarga kecil itupun langsung berangkat. Adel dan Nawi tidak butuh pakaian ganti, kalaupun perlu nanti bisa pulang ke rumah mereka yang ada disana.

Rasa khawatir menginvasi hati Adel. Perjanjian apa yang dilakukan kakeknya? Kenapa mamanya tidak langsung memberi tahunya setelah sang kakek meninggal? Batin Adel terus bertanya.

Syukurlah, perjalanan selama 3 jam berjalan lancar. Karena sudah memasuki wilayah Bandung, Nawi mulai menggunakan google maps untuk mencari alamat yang dimaksud.

"Beneran nggak tau kamu, Yang?" pertanyaan Nawi hanya dijawab dengan gelengan oleh sang istri. Hanya sekilas melihat pun ia tahu kalau istrinya sedang gugup. "Santai aja, kali aja nanti dikasih tanah sepuluh hektar."

Usaha Nawi untuk membuat Adel tertawa gagal. Wanita disampingnya masih tetap diam bahkan sejak pertama kali meninggalkan apartemen.

Lambat laun, Adel mulai menyadari dimana dia sekarang. Pun juga wanita dan anak laki-laki kecil yang kini berada di halaman sebuah rumah, lokasi yang mereka cari. Dunia begitu sempit.

"Kakek udah meninggal beberapa bulan yang lalu, Del. Waktu tau Abah Syahrul meninggal, kakek bilang ke keluarga tentang keinginan terakhir kakekmu itu. Kita sepakat. Mamamu juga setuju." kata wanita yang kini duduk di samping Adel.

Mendengar kata Mama, Adel tentu ingin sekali menangis. Mamanya masih mempedulikan mereka. Ia yakin, sang Papa lah yang mengontrol Mamanya agar tidak lagi bergaul dengan kedua putrinya.

Setelah menghapus setitik air mata yang akan meluncur, Adel kembali bertanya. "Terus adik teteh-

"Belum tau. Kalau kamu setuju, kita bisa bilang ke dia. Buldep katanya pulang."

Sejujurnya Adel merasa tidak berhak menyetujuinya. Ia harus mengorbankan Tari karena dirinya tidak lagi bisa melakukan apa yang diminta Abah Syahrul-- almarhum kakeknya. Tapi mengingat bagaimana semangat Tari untuk merealisasikan pesan terakhir kakek dan mama, Adel yakin, adiknya pasti bersedia.

"Aku setuju, teh."

🌻

Pagi ini delegasi yang mengikuti Swiss Open di Basel sudah siap berangkat. Nama Minions, aa Ginting, GreyAp, kak Grego dan Pramel yang sudah dicap sebagai unggulan tidak ikut, menjadikan para pemain pelapis harus membuktikan bahwa kami pantas menjadi tulang punggung sektor dan membanggakan Indonesia.

Ah, perihal Minions, hanya kak Kevin yang ikut. Kalau dia nggak ikut, mau main sama siapa aku? Yakali banting setir ke tunggal putri.

Aku berada dalam barisan tempat duduk yang sama dengan Jeje, Ajay dan mas Jom. Mereka lagi, batinku. Sepertinya Tuhan suka sekali kalau aku bersama orang-orang ini. Apa karena mereka aku bisa marah-marah? Entahlah. Perasaan sama siapa aja aku bisa marah.

"Nanti kalau ada free time, ikut gue ya, Tar." ajak Jeje sambil bersiap tidur.

Yang justru disaut Ajay, "Jangan mau. Nyasar lo, ntar. Gue nggak mau ya tiba-tiba nama lo viral gara-gara ditemukan tidak bernyawa."

𝘿𝙞𝙛𝙛𝙚𝙧𝙚𝙣𝙘𝙚 | Lagi Di RevisiDär berättelser lever. Upptäck nu