1-4 : Memendam Amarah

507 48 2
                                    

"Kata gue lo mending nggak usah pulang kalo nyampe sini malah galau." Ucapan kak Adel mengawali hari pertamaku kembali ke rumah. Dengan Khayla di gendongannya, ia menyapu lantai ruang tamu tempatku kini lesehan.

Aku masih belum berminat membantu dan lebih memilih untuk menyelami beranda Twitter, membaca cuitan orang-orang yang terlihat menyenangkan. Tanpa mengalihkan perhatian aku menjawab, "Yang galau juga siapa."

Terdengar jelas bagaimana kak Adel membuang nafasnya kasar. "Gue jadi kakak lo bukan setahun dua tahun," Ia menjeda ucapannya, "Kalo ada masalah tuh cerita. Gunanya gue di hidup lo apa?"

"Ngasih duit jajan."

Gagang sapu tadi tiba-tiba sudah mendarat di lenganku. Nggak keras sih, cuma kaget. Pelakunya tentu kakakku tercinta yang kini memasang wajah kesal.

Acara menyapunya sudah selesai, sekarang ia berlutut di muka ujung sofa setelah meletakkan Khayla yang tengah aktif-aktifnya untuk duduk sendiri. Dengan bantal di kanan kirinya untuk mencegah bayi itu oleng.

Omong-omong, bang Nawi sudah berangkat ke kantor dari sebelum aku bangun--yaa aku bangun telat tadi, pegel euy dikira Cipayung kesini deket apa ya. Mungkin nanti kalau sudah pulang dia bakal mengajakku adu bicara karena tidak mengabari akan pulang lebih awal dari seharusnya.

Gimana mau ngabarin kalau hapenya masih disita.

Ah iya, aku baru ingat perlu menanyakan sesuatu pada kakakku ini. "Wasiat Mama gimana?"

Mendengar pertanyaan ku kak Adel tidak langsung menjawab. Ia terlihat ragu. Apa sesuatu yang buruk tertulis di surat peninggalan itu?

Baru saja bibirnya akan mengeluarkan jawaban, ketukan pintu yang terdengar heboh membuatnya urung. Aku langsung menyingkirkan laptop yang sedari tadi di pangkuanku untuk mengecek siapa yang berkunjung.

"ASSALAMUALAIKUM! TAMU JAUH DATENG NIH." Teriakan dari luar itu terdengar tepat saat aku siap membuka pintu. Begitu pintu terbuka, tangan Ajay menyambut dengan sebuah ketukan di dahiku. "Loh udah dibuka hehe, kirain jidat lo pintu tadi."

"Nggak jelas, mau ngapain?"

"Nggak disuruh masuk dulu? Pegel gue berdiri."

"Ya salah siapa berdiri? Tuh ada dipan buat apaan kalau ngga buat duduk, kampret."

Di tengah keributanku dengan Ajay, kak Adel memanggil dari dalam, "ADA SIAPA, DEK?!"

"SALES PANCI, KAK!" Jawabanku mengundang Ajay untuk memukul lenganku pelan. Setelah itu ia masuk tanpa permisi usai menggeser badanku ke teras. Kirain bakal dikunciin, ternyata enggak hehe.

Saat aku masuk, pria yang mengenakan kaos polo hitam itu sudah duduk manis di meja makan dengan Khayla di pangkuannya. Sementara kak Adel baru saja meletakkan panci yang tadi dibawa Ajay ke atas kompor--aku nggak salah ya bilang dia sales panci tadi!

"Tumben lo nggak online sampe tiga hari, kehabisan kuota?" tanya Ajay saat aku mengambil duduk di depannya.

Membuat kak Adel juga ikut nimbrung, "Lah iya, tumben nggak pacaran sama hape? Mangku laptop mulu."

Kalau aku jawab jujur, mereka pasti mempertanyakan mengapa aku dengan mudahnya memberikan benda penting itu ke orang lain. Ralat, pacar backstreet maksudnya.

Berbekal pengalaman menipu guru saat bolos dulu dengan alasan turnamen padahal aku sedang malas, cukup lihai lah ya, aku berbohong, "Rusak. Beliin dong."

Tapi yang namanya kak Adel tidak akan semudah itu mempercayai adiknya ini. "Mana buktinya?"

"Hape rusak ngapain gue bawa coba, ya tinggal di pelatnas lah."

𝘿𝙞𝙛𝙛𝙚𝙧𝙚𝙣𝙘𝙚 | Lagi Di RevisiWhere stories live. Discover now