11. Tied the Knot

188 25 4
                                    

11 November 2016

Semoga malam ini kamu bisa tidur nyenyak.

Kejora send a recording

12 November 2016

Kejora send a recording

13 November 2016

Kejora send a recording

🌟🌟🌟

Semenjak insiden kolam renang dan kejadian di bimbel, Alta selalu menghilang begitu bel istirahat berbunyi. Orang biasa mungkin akan kesulitan mencari Alta tapi tidak dengan Kejora. Dia tahu, hanya ada satu tempat yang akan dikunjungi Alta sebagai tempat teramannya.

Sudah tiga hari, Alta membuatnya harus bolak-balik rumah sakit dan diam-diam mengamatinya dari luar kamar. Sekembalinya Alta ke sekolah, dia tak kuasa menahan dirinya untuk tidak memastikan kondisinya.

Suara kursi berderit dan seseorang jelas duduk di depannya, namun mata Alta masih terfokus pada barisan kata yang dibacanya.

Tangan Kejora terlipat di depan meja, masih menunggu reaksi pria di depannya. Dia ingin sekali bertanya, apa dia baik- baik saja. Apa dia menerima pesannya. Namun, semua pertanyaan itu terkubur dan diganti dengan pertanyaan yang Kejora harap bisa membuat Alta kembali berbicara padanya.

"Hai, kamu udah makan?"

Dia tahu jawabannya meski tidak ada respon dari orang di hadapannya. Hari – hari biasanya, Alta juga tidak pernah makan saat jam istirahat. Sama seperti situasi sekarang, baginya, waktu rehat sama dengan penambahan kesempatan waktu belajar.

"Hari ini gak ada bimbel, kupikir lebih baik kalau kamu istirahat lebih banyak."

Jari-jari Alta yang berada di ujung halaman buku sedikit terkepal tapi matanya masih belum berpindah.

"Alta ... apa kamu masih ingat pembicaraan kita tentang robot yang bisa menggantikan manusia?" Suaranya lembut dan penuh kehati-hatian. "Menurutku, hal itu memang akan terjadi. Tapi, bukan berarti manusia tidak akan lagi dibutuhkan. Seorang teller bank tetap ada meski sudah memiliki mesin teller. Pekerjaan utamanya menghitung uang mungkin berkurang tapi mereka jadi punya waktu lain untuk bisa menjual produk bank mereka."

Kali ini, Alta meliriknya walau hanya sekian detik. "Perpustakaan tidak cocok untukmu. Tempat kamu itu di ruang musik."

Hening menyelimuti mereka sebelum Kejora kembali berbicara dengan pelan. "Aku ... selalu bernyanyi untuk diriku sendiri. Dengan begitu, ketika aku sakit dan tidak bisa bernyanyi, maka hanya aku yang merasakan sakitnya."

"Apa yang ingin kamu bilang?" Ada serak dalam suaranya.

Kejora akhirnya bertemu refleksinya dalam sepasang mata yang memandangnya. "Aku bisa merasakan bagaimana rasanya berjuang untuk menyenangkan orang lain. Itu benar-benar melelahkan ... dan aku berharap kamu bisa melakukan hal yang sama untuk dirimu sendiri."

"Hidupmu pasti begitu menyenangkan sampai kamu punya waktu luang untuk mencampuri masalah orang lain." Di ujung kalimatnya, suaranya tenggelam oleh dering bel yang ditimpali dengan derik kursi yang terdorong ke belakang, membawa pergi dirinya yang meninggalkan seseorang dengan hati bergemuruh di dadanya.

🌟🌟🌟

Kejora tidak bisa menghilangkan kegelisahannya sehingga dia bertekad untuk mengakhiri apa yang dia mulai. Maka setelah pulang sekolah, Kejora mampir ke rumah Alta. Tepat saat Kejora tiba di depan rumah Alta, saat itu juga pintunya terbuka dari dalam.

"Kejora!" Wajah Rhesa sedikit terkejut bercampur senang mendapati Kejora.

"Siang Tante Rhesa, apa Alta ada di dalam?"

"Oh, Alta ada di dalam, masuk saja dulu. Tante mau keluar bentar."

"Baik, Tante."

Dengan lambat, Kejora melangkah masuk mencari Alta. Langkahnya terhenti begitu dia tiba di dapur dan menemukan Alta yang tertegun melihatnya.

Tidak memberi waktu untuknya berbicara, Alta berkata dengan redut. "Tidak cukup kamu menasehatiku di sekolah dan sekarang kamu bahkan ke rumahku? Apa kamu datang untuk meledekku?"

Meski ditatapi dengan tajam, Kejora mencoba melangkah lebih dekat dengan Alta. "Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"

Rahang Alta mengeras. "Cukup Kejora. Pergilah." Seakan omongannya hanya seperti angin, Kejora tetap bersikeras menghampirinya. Dengan pesat, Alta mengambil piring di sebelahnya dan menghancurkannya tepat di antara mereka. "Aku bilang pergi!" Kedua tangannya terkepal kuat sehingga garis nadi kehijauannya menonjol. "Aku benci kamu yang mengasihiniku!"

Kejora mencoba untuk tetap tenang, namun dirinya juga sama frustasinya dengan Alta. "Apapun sebutan yang kamu pikirkan tentangku, aku tidak peduli. Aku akan tetap berusaha menolongmu."

Alta menghembuskan napas dengan kasar. Dia bergerak maju, tidak menghiraukan kakinya yang terkena pecahan piring. Kini jarak keduanya hanya beberapa senti sehingga Alta menurunkan nadanya. "Menolong? Menolong apa? Karena kamu lihat aku tidak punya teman, kamu berlagak menjadi penyelamatku? Begitukah? Apa aku terlihat seperti lelucon dan mainan untuk orang baik sepertimu?!" Nadanya mulai meninggi. " Benar! Aku memang belajar dengan keras agar aku bisa dibutuhkan oleh orang lain! Agar aku juga bisa berteman dengan kalian semua! Tapi aku tahu semua itu hanya bertahan sesaat. Pada akhirnya, kalian semua akan membuang seseorang yang tak lagi ada gunanya."

"Kamu gak akan bisa ngerti perasaanku. Karena kamu memiliki semua yang gak aku punya. Tanpa perlu susah payah, orang lain akan menyapamu duluan. Kamu gak perlu mikirin apa yang akan terjadi di masa depan, karena kamu punya orang tua yang bisa menyokongmu kapan saja. Kamu beruntung dan aku tidak. Sejak awal, kita sudah berada di garis start yang berbeda".

Mata mereka masih beradu satu sama lain. Kejora masih termangu sedangkan Alta yang melihat tatapan Kejora padanya semakin membuat dirinya tidak berdaya . Dia menggertakan giginya dan masih membeliak tajam. "Dan aku benci tatapanmu itu!"

Alta mundur selangkah untuk menjauhi Kejora. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya karena merasa begitu sesak. Tak lama, Kejora pun akhirnya bersuara.

"Kamu tahu apa yang kamu punya dan aku gak punya?" Alta melirik Kejora yang kini balik melangkah lebih dekat. "Ibu."

"Kamu punya Tante Rhesa yang setia menunggumu di rumah sakit dan berdoa agar kamu segera membuka matanya. Ibu yang masih memikirkan kenapa anaknya pulang larut malam dan bagaimana supaya anaknya tidak merasakan hal sulit seperti yang dia rasakan."

Kejora menarik napas dengan panjang. "Aku tidak punya itu, Alta. Kamu punya hal yang aku inginkan. Dan hal-hal baik seperti yang kamu inginkan itu tetap membuatku hampa."

Mereka terdiam sejenak dan hanya terdengar suara hembusan napas yang tak beraturan. Kejora bertanya dengan pelan. "Jadi menurutmu, jika kamu diberi kesempatan untuk menukar hidupmu denganku. Apa kamu akan menjadi bahagia?"

Alta tidak bisa menahannya lagi. Air mata lolos ke pipinya dan di depan Kejora, dia menumpahkan semua perasaan sesak yang dia rasakan selama ini.

🌟🌟🌟

Kejora membersihkan serpihan kaca yang bersepai di lantai sembari Alta membersihkan luka di kakinya. Alta berjongkok di sampingnya ketika kakinya selesai dia obati. "Biar aku saja, kamu pulanglah."

"Kamu mau mengusirku lagi?"

Keduanya saling memandang lalu tanpa sadar, ujung bibir Alta tertarik sedikit. Pertengkaran dengan seseorang itu bisa membuat sebuah hubungan menjadi retak atau malah mendekatkan. Setelah pertengkaran tadi, entah kenapa Alta menjadi sedikit lebih lega.

"Kamu udah dengar rekaman yang aku kirim?"

"Hmm." Altabergumam dan melihat wajah Kejora yang kembali ceria seperti biasanya. "Terima kasih, itu membantuku untuk terlelap."

Stardust (Debu Bintang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang