3. Alasan Hidup Alta

287 43 13
                                    

Sisa- sisa air yang jatuh di atas genteng metal masih terdengar cukup nyaring meski hujan sudah reda setengah jam yang lalu. Belum waktunya bagi matahari untuk muncul, sehingga lampu meja tetap menyala untuk mendukung tulisan-tulisan di atas meja agar mampu terbaca. Deritan pintu membuat Alta yang duduk di sandaran kursi sedikit menoleh. Ternyata ibunya.

"Kenapa bangun pagi sekali?" Suara lembut itu membuat Alta bersipandang dengan ibunya sejenak.

"Aku mau belajar, ada ujian."

Rhesa menghela napas pendek melihat anaknya yang begitu mementingkan nilai dibanding kesehatan tubuhnya. "Nak ... kamu sudah belajar di bimbel dan pulang kerumah pun kamu masih mengulanginya. Apa harus banget kamu mengorbankan jam tidurmu? Tubuh kamu juga butuh istirahat, Alta." Rhesa berucap pelan sambil memegang punggung belakang anaknya.

"Gak bisa," ucapnya singkat dan sibuk mencoret kertas buram dengan angka dan rumus.

Rhesa memandang sendu anaknya. Dia sesak melihat sikap Alta yang semakin hari semakin berubah menjadi anak yang tidak lagi berbicara santai dengannya. Sebagai seorang Ibu, Rhesa terus menyalahkan dirinya yang kurang memperhatikan anaknya. Apalagi, Alta tidak pernah melihat ayahnya sejak kecil karena suami brengseknya kabur meninggalkan mereka. Hanya Alta yang dia miliki. Dan cuma Alta yang menjadi alasan hidupnya. Rhesa tidak ingin kalau cahaya kecilnya itu berubah menjadi gelap.

Sepergian ibunya, torehan Alta terhenti. Dia memejamkan matanya dan mengambil napas pelan. Mimpi yang membuatnya terbangun masih bisa diingatnya. Mimpi tentang dia yang terjebak dalam sebuah kotak, tanpa udara, gelap dan tak ada siapa-siapa. Dia takut, menjerit, berusaha keluar dan akhirnya jatuh di udara bebas yang sontak membuat matanya terbuka lebar dengan keringat bercucuran di wajahnya. Matanya kembali terbuka melihat sederet buku yang tersusun rapi dan belasan kertas di mejanya. Sampai kapan dia harus seperti ini? Rasanya dia ingin mati saja. Tapi, dia masih ingin membuat robot. Yah, hanya itu alasan hidupnya sekarang.

⭐⭐⭐

Hari minggu, kelompok tugas Kejora bertemu di sebuah taman komplek untuk shooting video. Semuanya berjalan lancar sampai cuaca mulai tidak mendukung dan mereka memutuskan untuk melanjutkannya besok sepulang sekolah. Satu per satu mulai meninggalkan tempat saat suara halilintar memekikkan telinga.

Tersisa Alta, Jora, Dikson dan Jeha yang singgah ke kafe untuk melindungi diri dari gerimis yang berubah menjadi sederet air yang bergenang dengan cepat.

Pak Iwan, jemput Jora di komplek Cemara ya.

Waduh, tapi mesti tunggu dua jam lagi ya Non, soalnya saya mau jemput Non Mala dulu.

Yauda Pak, Jora tungguin di kafe Rimbun ya.

Kejora hanya bisa menghela napas. Selalu saja nama kakaknya yang membuat perasaannya terombang-ambing. Untung saja, ada peralihan dari ributnya dua orang yang sibuk bermain mobile legend. Lalu, ada juga sosok Alta yang tenggelam dalam kertas yang digambarnya. Awalnya, dia ingin mengomentari betapa cowok itu begitu tergila-gila dengan pelajaran. Tapi, dia terpaku ketika kertas yang dia intip di atasnya terlukis gambar robot.

"Kamu suka robot?"

Mendengar celetukan Jora, Alta mendongak dan bergumam pendek. "Hmm."

"Woah, aku ingin lihat." Jora mendekatkan dirinya sehingga jarak bahu mereka hanya terpisah beberapa senti. "Bagus!" Matanya berbinar menatap gambaran Alta yang sangat detail.

"Eh, Jora, kami pulang dulu ya. Supir Jeha udah datang dan gue nebeng mobilnya. Lo mau sekalian ikut gak?" Dikson bangkit menenteng tas ranselnya.

"Enggak deh, soalnya aku juga udah telepon supirku. Kasian kalau dia udah di jalan."

"Yauda, kalau gitu kita pulang dulu ya. Bye, Jora. Alta, jangan modus ya! Jora itu milik bersama," pamit Jeha sambil menjulurkan lidahnya pada mereka.

Kepergian dua orang itu meninggalkan senyap dan juga kecanggungan bagi Alta. Dia berdoa supaya hujan segera berhenti jadi dia tidak perlu menahan napas tiap kali wajah gadis di sebelahnya dekat padanya.

"Oh ya, Alta, aku boleh tanya sesuatu?" Kejora menunggu persetujuan Alta. Ini pertama kalinya dia berbicara santai dengan Alta meski dia sudah beberapa kali bertemu Alta di tempat bimbel dan sebelum akhirnya menjadi teman sekelas.

Setelah dia melihat anggukan kecil dari Alta, dia bertanya dengan pelan. "Kenapa kamu belajar dengan sangat keras? Maksudku, bukan berarti itu tidak bagus. Hanya saja, aku lihat Denis sama Claris yang juga juara paralel saja masih bisa bersantai pada waktunya."

Alta memandang wajah gadis yang bisa meluluhkan pria yang menatapnya lebih dari tujuh detik. Tapi di detik ke lima, dia kembali memalingkan wajah ke depan dan menjawab, "Karena aku berbeda dengan mereka." Setidaknya mereka masih punya hal lain selain kecerdasan sedangkan dia tidak. Dia tidak memiliki apa-apa lagi selain menjadi cerdas agar bisa dibutuhkan orang, sambungnya dalam hati.

Jora memandang bingung dan mencoba menerka maksud Alta.

"Kenapa aku?" Giliran Alta yang bertanya dan Jora tidak mengerti maksud pertanyaan Alta.

"Kenapa kamu memilihku masuk ke kelompokmu?"

"Pintar?" Suara halusnya sedikit teredam. "Siapa yang tidak ingin orang pintar di kelompoknya?"

Mereka kembali bersipandang dan Jora menangkap pancaran kesedihan dari mata Alta. Sama seperti barisan not lagu kala itu yang masih terekam jelas di otaknya.

"Makasih."

Jora semakin dibuat bingung olehnya. "Buat apa?"

Alta tidak menjawab. 

Stardust (Debu Bintang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang