10. Pelangi Tak Berwarna

178 27 14
                                    

Kejora melirik jam dinding di atas papan tulis dan menunggu bel pulang yang akan berbunyi sepuluh menit lagi. Dia menjatuhkan kembali pandangannya pada sosok laki-laki yang menatap dengan penuh perhatian guru ekonomi yang sedang berbicara di depan, kala murid lainnya sudah pada menguap atau dengan bosan mencorat-coret kertas.

Sejak pagi, dia hendak bertanya tentang keadaan Alta tapi sosok itu selalu menghilang seakan dirinya tidak ingin dicari oleh siapapun. Biasanya saat jam istirahat, laki-laki itu selalu berada di dalam kelas atau terkadang berdiri di luar sambil memandang ke bawah lapangan.

Kejadian tadi malam kembali terputar di benak Kejora dan rekaman ingatannya terputus ketika bel dengan lagu Yamko Rambe Yamko membangunkan seisi kelas yang tadinya diam menjadi riuh. Saat guru ekonomi mereka keluar dari ruang kelas, saat itu juga Kejoran beranjak menghampiri Alta. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti karena Febi menarik seseorang untuk ditunjukkan kepada mereka semua.

"Guys, jangan pada pulang dulu ya ... karena gue mau kasih pertunjukkan buat kalian!" teriak Febi sambil merangkul Johan, laki-laki berkacamata yang cerewetnya menyamai lima perempuan bergosip.

Johan menatap ngeri Febi tapi mulutnya tetap tidak bisa dia kendalikan. Dengan suara khas cemprengnya, dia mendumel, "Gue salah apa, gue salah apa? Perasaan gue gak cerita apa-apa tentang lo."

Febi menghembuskan napas keras lalu menyuruh temannya untuk mengatakan kesalahannya.

"Ada hot news, guys! Super panas, baru keluar dari oven. Mau tau gak? Mau tau gak? Masa tadi gue liat Febi lagi berduaan tuh sama adik kelas yang jadi kapten basket kelas satu. Kalian tahu, kalian tahu apa yang gue liat?" Zacky memperagakan kebiasaan Johan yang suka mengipasi tangannya di udara dan mulai meninggikan nada suaranya. "Merah, kuning, hijau, di bawah pohon, mereka pelukan, aaa!!! Apakah ini tandanya pelangi akan muncul sebelum hujan?"

Sontak sebagian siswa yang masih berada di kelas tertawa cekikikan sedangkan muka Febi sudah seperti gunung Sinabung yang akan meletus.

Kedua tangan Johan memohon dengan wajah memelas. "Ampun, Feb, ampun ... gue berani sumpah gue gak bermaksud kayak gitu. Ampun Feb, ampun!"

Tanpa basa-basi lagi, Febi langsung menyeret Johan ke kamar mandi dan diikuti beberapa orang di belakang mereka.

Saat mereka keluar dari kelas, Kejora tersadar kalau dia kehilangan sosok Alta. Awalnya, dia tertahan karena mengingat perkataan Febi kemarin malam bahwa dia masih belum selesai berurusan dengan Alta. Namun, dari yang Kejora perhatikan tadi pagi, memang masih ada orang yang heboh membahas masalah kemarin. Tapi, entah kenapa Febi tidak terlalu menanggapinya atau mungkin sudah tidak terlalu peduli akan hal itu.

Kecemasannya sedikit sirna dan Kejora berjalan keluar melewati kerumunan orang yang berdiri di depan kamar mandi. Dia bisa mendengar teriakan Johan dari dalam kamar mandi laki-laki dan berpikir bahwa cepat atau lambat, kelas mereka akan terkena kasus lagi. Beberapa detik kemudian, Febi dan kelompok temannya keluar dengan nyengir di wajah mereka.

Beberapa siswa mengintip ke dalam kamar mandi dan seketika itu, teriakan menjijikan dan berbagai umpatan keluar dari mulut mereka. Karena tinggi Kejora yang diatas rata-rata, dia bisa melihat situasi di dalam dan tidak habis pikir kenapa mereka melakukan hal sekejam dan semengelikan itu. Mengecingi orang? Sungguh? Dia segera kabur dan memilih untuk pergi ke bimbel.

⭐⭐⭐

Tiba di bimbel, Kejora tersenyum lega karena menemukan Alta. Dia segera mengambil tempat duduk di hadapannya. "Hai!" Sapaannya kembali dicuekin oleh Alta. Dia mengamati wajah Alta dan dahinya berkerut. Seingatnya, wajah Alta tadi pagi baik-baik saja. Kenapa sekarang wajahnya menjadi pusat pasi?

"Alta, kamu sakit?"

Tidak ada jawaban. "Kamu udah lihat belum hasil akhir video kelompok kita?"

Laki-laki dengan mata berfokus pada halaman buku masih senantiasa bungkam. Dahi Kejora kembali membentuk garis tipis saat dilihatnya butiran keringat turun dari pelipis Alta. Merasa ada yang tidak beres, Kejora bangkit dan berdiri di samping Alta. "Alta, kamu gak papa?"

Saat tangan kecil itu menyentuh bahu Alta, saat itu juga sebuah tangan besar balik mencengkramnya kuat.

"Jangan dekatin aku! Aku mohon, pergi!" teriak Alta histeris setelah menghempas tangan Kejora. "Aku gak salah ... bukan aku yang salah!

Kejora berusaha menenangkan laki-laki itu tapi yang terjadi malah Alta semakin berteriak dan menjambak kedua rambutnya sendiri dengan frustasi. "Kumohon pergi, tinggalkan aku! Pergi! Pergi!"

Guru bimbel mereka celingak celinguk menghampiri mereka dan ikut menenangkan Alta dengan memanggil namanya dan mengelus punggungnya.

"Jangan! Aku gak mau! Jangan!" Napas Alta mulai terasa sesak dengan suhu tubuh yang semakin memanas. Detik selanjutnya setelah dia mengatakan kata 'pergi' adalah pandangannya kabur lalu menggelap.

⭐⭐⭐

Senja sudah berpulang sejak sejam yang lalu. Hanya ada cahaya dari ruangan berbau khas yang terpantul di jendela yang sudah menunjukkan gelap di luar. Kejora menghidupkan layar ponsel yang berada di pangkuannya. Layar tersebut hanya berisi sejumlah notifikasi dari aplikasi media sosial yang dimilikinya. Dengan sedikit tenaga, dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Apa yang dia harapkan, emangnya? Bahkan suatu hari ketika Kejora kehabisan daya baterai ponselnya dan tidak bisa mengabari Fiona, dia sangat cemas seandainya Fiona khawatir. Begiu Kejora pulang, Fiona baru menyadari keterlambatannya.

Dia mengigit bibir bawahnya. Matanya beralih pada sepasang mata yang terpenjam itu. Kata dokter, beberapa waktu lalu Alta mengalami overdosis modafinil-obat untuk penderita narkolepsi atau gangguan tidur. Kejora menebak kalau alasan Alta meminum obat itu bukan karena dia akan tertidur secara tiba-tiba, melainkan dia ingin tetap terjaga. Ujian semester akan tiba, belum lagi persiapan untuk ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Alta pasti menghabiskan waktunya untuk belajar mati-matian.

Melihat Alta terbaring seperti ini membuat dia ikut merasakan sakit. Dia berbisik pelan, "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Alta?"

Dalam keheningan yang sebenarnya tidak benar-benar hening, mereka berteriak tanpa bersuara. Sampai salah satu diantara mereka tidak bisa menahan teriakan itu lagi dan akhirnya jatuh. Lalu keheningan dalam ruangan itu mulai terganggu oleh jatuhnya butiran-butiran air hujan yang membasahi kaca jendela sehingga malam menjadi lebih berkabut.

Bayangan Alta memutari poros pikiran Kejora. Pertemuan pertamanya dengan Alta begitu melekat dalam ingatannya. Bagaimana Alta mencoba untuk lari dari semua yang dia tahan. Begitu juga dengan melodi yang menjadi interpretasi kerapuhan yang dia rasakan. Dan semakin Kejora ingin membuka pintu dan memasuki ruangan gelap Alta, semakin dia terjerat dan menemukan sebagian dirinya ada di sana.

Suara hujan kian mengeras berubah menjadi pengiring untuk setiap not yang tercipta di benak Kejora. Not-not yang terbentuk dari kata yang tak bisa terucap.

⭐⭐⭐

Pagi menyapa, awal tuk memulai sesuatu yang baru

Malam identik dengan kata pulang

Baginya itu sama

Planet maupun bintang, dia tak bisa bedakan

Karena pelangi setelah hujan, dia juga tak bisa melihatnya

Dia dirangkai tuk jadi sempurna

Kaki tangannya bergerak seperti yang diarahkan

Menuju tempat yang bahkan dia tak tahu

Yang dia tahu ... setelah beberapa waktu berlalu adalah ... dia kehilangan dirinya

Stardust (Debu Bintang)Where stories live. Discover now