7. Orbit

210 34 9
                                    

Tanpa perlu menyetel alarm, Alta akan selalu terbangun tepat pada waktunya. Jam 5 pagi dan matanya menatap kosong meja belajar di depannya. Di satu sisi, dia ingin beranjak dan kembali duduk pada meja itu karena semalam dia melewatkan jam belajarnya. Semua itu gara-gara perbincangannya dengan Kejora. Pikirannya terdistraksi oleh bayang-bayang masa depannya, tujuan eksistensinya dan juga suara perempuan itu. Alhasil, semalam dia memilih untuk membawa mimpi-mimpi itu kedalam tidurnya.

Dan pagi ini, entah kenapa dia hanya ingin menutup matanya kembali sampai jam 6 hadir. Dia merasa sekujur tubuhnya kehilangan tenaga untuk bergerak. Dia kembali memejamkan matanya berharap bahwa fajar tidak pernah datang.

⭐⭐⭐

"Kejora, lo mau ikut gue gak?" tanya Anne yang sudah ditunggu oleh supirnya.

"Gak usah Anne, bentar lagi Pak Iwan jemput kok."

"Yauda, kalau gitu gue pulang dulu ya!" Anne melambaikan tangannya dan berlari pelan ke mobilnya karena rintik hujan mulai turun.

"Hati-hati!" teriak Kejora pelan lalu kembali duduk di salah satu kursi sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang.

Matanya tertuju pada para ibu yang sibuk memayungi anaknya dan bahkan rela membiarkan bahunya basah agar anaknya tidak terkena hujan. Pandangannya berpindah pada genangan air di tanah yang terus dijatuhi rintik hujan.

Ponselnya bergetar dan tanpa melihat isinya pun dia sudah tahu itu siapa. Dia membaca deretan huruf yang terpampang di layar ponselnya.

"Non, tunggu sebentar ya karena harus jemput Non Mala dulu."

"Iya, Pak Iwan. Kejora tungguin kok."

Kejora sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini sehingga dia tidak merasakan apapun lagi ketika kakaknya selalu merenggut waktu dan juga ibunya. Dia tidak habis pikir kenapa dia harus memiliki kakak seperti Mala. Padahal Mala dibelikan mobil sendiri. Hanya karena dia malas mengendarai mobil di waktu hujan dengan alasan macet, dia selalu menelepon Pak Iwan untuk menjemputnya. Dan yang paling menyedihkan dari hal itu, Fiona selalu mengiyakan permintaan putri kesayangannya dan mengatakan pada Pak Iwan kalau Mala harus diprioritaskan.

Kejora bangkit dan hendak menuju ruang musik sembari menunggu supirnya datang. Tapi begitu berbalik ke belakang, dia menemukan sosok Alta yang tak jauh darinya. Yang dia lihat hanya punggung pria itu semakin jauh dari pandangannya. Karena penasaran, dia mengikuti ke mana pria itu pergi.

⭐⭐⭐

Kejora menyunggingkan senyum saat tahu Alta pergi ke perpustakaan. Dia masuk dan menemukan pria itu duduk di barisan terakhir dekat jendela dan tenggelam dalam buku bacaan.

Dia mengambil tempat duduk di hadapan Alta dan tampak mata Alta sedikit membesar ketika menemukan Kejora tersenyum padanya.

"Hai," sapa Kejora yang tidak dibalas oleh Alta. Dia menatap keluar jendela lalu bergumam pelan. "Ketika awan mulai berubah jadi hitam, semua orang akan berlomba mencari tempat teraman. Suara klakson sana-sini, saling kebut-kebutan dan tak ada yang mau mengalah. Alhasil, kemungkinan kasus kecelakaan juga bisa terjadi."

Matanya beralih ke Alta yang masih menundukkan kepalanya. Kejora tahu Alta mendengarnya, dia pun melanjutkan, "Kenapa manusia harus membahayakan diri seperti itu hanya untuk menghindari hujan? Apa hujan sebegitu mengerikan?"

Detik selanjutnya, pandangan mereka bertemu lalu Alta menjawab, "Hujan atau tidak, manusia memang akan terluka."

"Em.. benar juga ya!" Kejora melebarkan senyumnya dan Alta kembali fokus pada bukunya.

Kejora mengamati buku Ensiklopedia yang dibaca oleh Alta dan mencoba untuk mencari topik yang mungkin membuat Alta tertarik. Tiba-tiba ada lampu yang menyala di otaknya lalu dia bertanya, "Menurutmu, apa robot bisa mengalahkan manusia?"

Alta menatap Kejora sesaat. "Bisa jadi."

"Iya, apalagi sekarang ada robot yang bahkan bisa bantu pekerjaan rumah, masak, bacain anak buku dan juga pelayan restoran. Gila gak sih perkembangan teknologi zaman sekarang? Aku jadi ngeri memikirkan kalau manusia jadi tidak dibutuhkan."

Mata Kejora senantiasa mengamati wajah Alta yang masih menunduk dan perubahan mimiknya. Alta tidak menjawabnya dan Kejora terdiam sesaat. Bukan karena dia lelah melihat Alta yang tidak mengacuhkannya, melainkan otaknya sibuk menyusun kepingan puzzle yang terdiri dari robot dan manusia bernama Alta.

Lalu ketika kepingan itu tersusun sempurna sebagaimana Kejora menciptakannya, dia pun berkata lirih, "Apa itu alasanmu belajar terlalu keras?"

Berbeda dari yang dipikirkan Kejora, Alta malah menjawab singkat, "Indonesia berada di peringkat 108 dalam segi kualitas pendidikan."

"Tapi cara belajarmu salah. Kamu belajar untuk menyenangkan hati orang lain bukan untuk dirimu."

Mata Alta sedikit melebar lalu menatap Kejora dalam-dalam. "Itu urusanku," katanya pelan lalu bergegas meninggalkan tempatnya.

Kejora hendak bangkit tapi mengurungkan diri. Dia menatap punggung Alta yang semakin menjauh lalu menghilang dibalik pintu. Dia mendesah pendek dan kembali menatap ke luar jendela. Dia tidak menyesali apa yang dia katakan pada Alta karena dia tahu Alta memang butuh pertolongan. 

Stardust (Debu Bintang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang